Senin, 05 Januari 2015

JANGAN MENCINTAIKU, JANGAN MENCINTAIKU!

Aku terlahir dari keluarga bahagia, ayahku seorang dosen di sebuah univesitas di kota Samarinda, tempat kami tinggal kini. Aku sudah berhasil mnyelesaikan program magisterku dengan baik, tanpa ada rintangan yang teramat sulit ku lewati.Kini aku bekerja di sebuah bank swasta dengan jabatan penting sebagai manager operational. Umurku sekarang sudah hampir memasuki 33 tahun, dan aku telah memiliki seorang putra dari adopsi melalui sebuah panti asuhan. Putraku kini sudah memasuki sekolah taman kanak - kanak dan kami tinggal berdua dirumah yang ku beli sendiri.Aku mungkin bukan seorang wanita sholehah, tapi aku sudah memutuskan menggunakan jilbab sejak aku memasuki bangku kuliah. "bunda, ada telpon... ". seru Petra, putraku semata wayang yang amat ku syangi. "dari siapa sayang?" tanyaku sambil meraih telpon genggam yang ia ulurkan padaku. Ku buka mukena yang baru ku kenakan. "nggak tau... " jawabnya menggeleng, kuraih tubuhnya dan ku dudukkan dia datas pangkuanku. "ya, assalamualaikum" kataku membuka pembicaraan dalam telpon "waalaikumsalam, Tiyas". jawabanya. " maaf ini siapa?". tanyaku agak penasaran. "ini aku, Fathur." jawabnya singkat Aku tertegun, hatiku seperti bergemuruh mendengar nama itu. Ia adalah laki - laki bersahaja dan sederhana yamg ku kenal sebulan lalu. "oh, darimana kau tau nomor telponku?" jawabku ketus.

Minggu, 03 Juni 2012

Aku Perempuan Yang Baik

                Surani adalah namaku. Dulu aku pernah bertanya pada ibuku tentang nama ini. Kenapa hanya Surani, bukan Suharyani atau Suryani, atau apalah. Kenapa hanya Surani. Menurut ibu tidak perlu semua nama itu, karena bagaimanapun nama seorang anak adalah harapan orang tuanya.
                Menurut ibuku lagi, Su artinya bagus atau baik, Rani adalah perempuan. Jadi kalau aku pikir – pikir , mungkin ibuku ingin aku menjadi perempuan baik – baik atau paling tidak aku bisa menjadi perempuan yang baik. Sebuah harapan yang sederhanna aku pikir.
                Ketika aku masih gadis, pacar pertamaku, laki – laki itu, meniduriku dikamar kostnya yang sempit, pengap, dengan aroma rokok yang membuat kepalaku pusing.tapi aku yakin bukan karena pusing hingga aku tidak cukup sadar ketika laki – laki itu merenggut kesucianku diantara derai tangisku. Aku membencinya dan tidak lagi mencintainya, tapi aku tak bisa memilih lagi.
                “nduk, perempuan baik – baik itu hanya menyerahkan keperawananannya hanya pada suaminya”.
                Begitulah pesan ibu padaku ketika aku memutuskan untuk meneruskan pendidikanku dikota besar ini. Pesan seorang ibu pada anak gadisnya karena dia menganggap aku sudah cukup dewasa untuk memaknai arti keperawanan ku. Tapi siapalah yang tahu kalau ternyata dunia diluar sana membuatku lebih ringan memaknai keperawananku. Toh ini sekedar kelamin, bukan sebuah kepercayaan yang aku anut. Salahkan dunia jika aku begini.
                Maka aku melayang kenirwana sampai kemudian aku terjerembab ke bumi dan tersadar akan artiku sesungguhnya. Aku meratapi diriku ketika ku sadari aku tak lagi utuh. Kenapa ibu ki membuatku berpikir bahwa aku bukan lagi perempuan baik – baik. Ma’af saja, tapi bukannya aku anak yang tidak berbakti pada orang tua, hanya saja aku tidak bisa memenuhi harapannya. Menjadi perempuan baik – baik tak semudah mengartikan namnaku.
                Aku berhenti meratap ketika laki – laki itu, sambil menghisap rokok dalam – dalam kemudian berkata bahwa dia akan menikahiku. Akupun kemudian sedikit lega karena artinya dia akan menjadi suamiku dan aku kembali akan menjadi perempuan baik – baik. Paling tidak aku bersuami.
                Setelah yang pertama itu, tentu saja ada yang kedua dan seterusnya. Sebuah pengorbanan yang kuserahkan dengan bayaran janji yang aku yakini benar adanya. Aku terus bersamanya, menerimanya, menemaninya kapanpun dia menginginkan kehadiranku. Hanya tinggal menunggu waktu saja untukku bercerita pada ibu, bahwa aku telah menemukan seseorang yang akan menjadi menantunya. Tentu saja aku tak perlu menceritakan bagian itu. Bisa mati berdiri ibuku.
                Dan suatu sore tenang di dalam kamar kosnya, aku mengatakan pada laki – laki itu,
                “mas, aku hamil”.
                Sungguh sebuah jawaban yang kumau, bukan,
                “gugurkan, aku belum siap””.
                Laki – laki itu tidak pernah menikahiku. Heran, bagaimana bisa aku percaya saja, karena saat dia mengatakan akan menikahiku, dia tidak berusaha memeluk ku untuk sekedar menenangkan. Dia hanya duduk di satu – satunya kursi yang ada dikamarnyaitu, menyalakan rokok dan menghisapnya dalam – dalam. Jadi kenapa aku sampai bisa menganggapnya sungguh – sungguh.
                Lihat saja aku sekarang, berakhir ditempat tidur klinik bersalin ini. Kamar kecil berbau steril yang menyengat dengan sakit yang amat sangat di tubuhku, aku keguguran, bukan menggugurkan bayi yang tumbuh di rahimku itu. Tapi rasa sakit dan nyeri itu tidak sebanding dengan sakit hatiku saat laki – laki itu tidak juga dating menjemputku di klinik itu hingga aku harus pulang sendiri, berharap orang – orang yang memandang ku cukup bodoh untuk percaya beginilah caraku berjalan. Tertatih, laki – laki itu tidak datang.
                Laki – laki itu tidak ingin menikahiku, dia hanya mengawiniku setiap kali dia ingin, dan menyalakan rokok setiap kali selesai. Maka akupun pasrah saja bahwa aku bukan perempuan baik – baik – baik. Tapi aku tentu perempuan yang baik, karena aku sabar menunggunya berubah menjadi laki – laki , bukan seorang bangsat. Aku menyerahkan segalanya dalam keterpaksaanku, aku terus bersamanya  meskipun aku tak lagi mencintainya yang telah menghancurkan hidupku  , dan ya aku bodoh.
                Aku meraung di kamarku malam itu, aku ingat saat aku menjambak – jambak rambutku bagai orang gila, aku ingat saat aku mulai gila ingin bunuh diri, bukan karena aku masih mencintainya, tidak. Mungkin Tuhan masih menyayangiku hingga menakdirkan bayi mungilku tak sempat lahir kedunia ini ini, itu semua agar ia tak menanggung beban penderitaan sebagai anak seorang laki – laki bajingan. Aku berhenti dan bersujud memohon ampun atas segala dosa – dosa yang telah aku perbuat padahal Tuhan begitu menyayangiku.
                Dua tahun berlalu, kini aku menjadi seorang wanita dewasa, bukan seorang gadis belia yang suka menangis sebelum tidur. Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai seorang sekertaris. Dan bosku , pak Rama, seorang laki – laki beraroma wangi, berperawakan sedang dan berkulit kuning langsat  yang kerap memujiku tiap kali aku mengerjakan pekerjaanku dengan baik dan saat pagi hari saat kami baru masuk kantor
                “kamu cantik sekali hari ini Rani”
                Begitu ia selalu bilang ketika kami berhadap – hadapan dengan pandangan yang sangat menyejukkan. Aku jatuh hati padanya, tapi bukan lantaran ucapannya lantas aku menyukainya. Dia laki – laki yang pantas dikagumi, seorang laki – laki yang tegas, ramah dan bijaksana dan dia memperlakukan aku dengan baik, seperti perempuan baik – baik.  Dan ia bukanlah seorang laki – laki yang tinggal dikamar kos sempit dengan bau rokok yang menyengat.
                “aku mencintai kamu Rani”, seru pak Rama suatu hari.
                “ cinta?” tanyaku setengah tak percaya. Akhirnya terucap juga.
                “iya, sungguh aku mencintai kamu. Kenapa?, kamu nggak suka?”
                “bapak yakin? Saya  ini…..”
“apa?”, sambungnya
“saya nggak seperti yang bapak kira…. Dan sya nggak pantas untuk di cintai”. Aku menunduk
“aku jujur dari hatiku Ran….”
“saya sudah tidak suci lagi pak…… saya bukan perempuan yang baik untuk bapak”.
“nggak Ran, di mataku kamu adalah perempuan yang sangat baik”. Pak Rama mengangkat  wjahku dan kemudian mengecup keningku.
Perempuan yang baik. Alas an yang membuatku bungah bukan kepalang. Walau tanpa alas an itupun aku pasti mau menerimanya.
“saya juga mencintai Pak Rama”, ucapku sambil menangis.
Pak Rama memelukku.
“makasih Ran, mulai sekarang panggil mas aja ya”.
“nggak enak di denger anak – anak pak”.
“ya kalu lagi berdua dan diluar kantor donk”.
Aku mengangguk. Aku begitu bahagia, aku seperti menemukan kembali cinta yang telah lama hilang dari hatiku. Aku begitu mencintaiya.
Begitulah kami, dan ia menerimaku apa adanya. Kini dengan ikhlas aku membiarkannya menikmati tubuhku, karena dia adalah orang yang aku cintai. Bersamanya berbeda dengan masa laluku, dia memperlakukanku sangat istimewa, yang membuatku tenggelam dalam gelombang cinta yang menderu – deru.
Malam ini aku kembali menangis, meratapi takdirku yang begitu menyakitkan. Mas Rama telah beristri, istrinya tinggal di Singapura dan baru dua hari yang lalu kembali ke Indonesia. Kenapa dia tega membohongiku, dia selalu mengatas namakan cinta untuk meluluhkan hatiku. Semua orang memandangku begitu hina, perempuan perebut suami orang. Tapi di antara derai air mataku aku ingin membuktikan perkataan mas Rama bahwa aku perempuan yang baik, perempuan yang sabar, perempuan yang menerima sebagai orang kedua dalam hidupnya. Tapi tentu aku tak selalu bisa menatap cermin dan berucap,
“aku perempuan yang baik”.

Kamis, 31 Mei 2012

Perempuan Kedua

Tempat tidur ini luas, lembaran sprei merah mudanya terasa dingin. Malam ini lagi – lagi aku masih sendiri. Aku memandang  langit – langit kamar yang dibuat bertingkat dan terlihat minimalis, ingatan ku tertuju pada kejadian siang tadi.
                 “Nyonya  Raditya.” Seru laki – laki paruh baya pemilik toko kue langgananku.
                “ah koh Jimmy formal banget sih manggilnya”.
                “habis saya udah lama nggak ketemu, udah 3 minggu pulang dari mertua nggak mampir – mampir ke sini”
                “ah sibuk beres – beres kantor baru koh”.
                “eh perempuan itu jangan terlalu sibuk, sering – sering dirumah aja”
                “nggak bisa koh, lagian dirumah juga mau ngapain”.
                “makanya cepat – cepat buat babby, biar rumah nggak sepi”
                “maunya gitu koh Jim, tapi gimana lagi belum dikasih rejeki sama yang diatas”.
                “mau lanjut S3 lagi nih?”
                “maunya gitu koh, tapi mau focus kerumah tangga dulu lah. Dua atau tiga tahun lagi baru lanjut S3, pokoknya aku mau pegang gelar Ph.D sebelum umurku 30 koh”
“Masih lama lah itu, kamu kan baru 23 tahun. “
“hahaha, kokoh bisa aja…”
“ahhh, kok bisa Radit punya istri terlalu pintar seperti kamu itu, tapi kadang orang pintar itu nggak pandai memilih ya”
“maksudnya koh?”
“ya, sebenarnya kamu masih bisa bukan sekedar jadi istri kedua, nggak makan hati kalau tiap waktu harus bagi waktu dengan istri tua?”.
Ucapan Koh Jimmy seperti  sengatan lebah  di kepalaku, aku hanya tersenyum simpul.
“ini terang bulan coklat nya, ini brownies nya”.
Aku menerima dua kotak yang terbungkus kantong plastic berlabel  “Jims Cakes” itu.
“makasih yak koh Jim, mas Radit suka sekali kue buatan kokoh”.
“ya, kembali kasih, sering – sering datang kemari ya”.
Aku tersenyum sambil melangkah keluar toko “Jims Cakes” ini untuk pulang kerumah.
Kata – kata Koh Jimmy terus terngiang – ngiang ditelingaku, tapi bukankah aku sudah memilih jalan hidup seperti ini dan bukankah aku sudah tahu konskwensi yang harus aku terima. Aku mencintai suamiku, kami menikah atas dasar cinta, meskipun aku tahu dia sudah beristri, tapi aku tetap menyanggupi untuk menjadi istri kedua baginya.  Mertuaku juga orang – orang yang demokratis, mereka tidak pernah membedakan antara aku dan mbak Sahara, maduku. Walaupun awalnya mereka sempat menentang pernikahanku dengan mas Radit, karena pertimbangan yang begitu banyak. Kesiapan mas Radit untuk bersikap adil, kemampuan mas Radit memberikan nafkah lahir dan batin terhadap dua istrinya dan pandangan orang sekitar terhadap laki – laki yang berpoligami. Namun akhirnya mereka luluh dengan kekuatan cintaku dan mas Radit, dan mbak Sahara pun membiarkan dan mengikhlaskan untuk berbagi denganku.
Sahara, aku mengenal sosoknya sebagai wanita yang baik. Aku jarang berbicara dengannya, bahkan bertatap muka.  Kami membangun rumah tangga kami sendiri – sendiri dan tidak pernah mencampuri urusan masing – masing. Sahara terbilang jauh lebih dewas daripada aku, dia menikah saat usianya memasuki 25 tahun, dua tahun lebih tua dari mas Radit.  Sementara aku, melangsungkan pernikahanku dengan mas Radit setahun lalu. Dari pernikahannya, mas Radit belum mendapatkan satu  keturunan pun dari kami istri – istrinya.
Kejadian di toko kue Kokoh Jimmy seakan mengulangi saat - saat ketika aku berkunjung kerumah orang tua ku sebulan yang lalu pada pertemuan keluarga.  
"Andiiiiieeeeeeeeeeeeennn.... y Allah, tambah cantik aja kamu heeemmmhhh", seru tante Mer istri om Harmoko adik ibu sambil mencubit pipi ku.
"tante... ngagetin aja".
"mana, mana suamimu? ikut apa nggak?".Tante Mer tampak celingak celinguk dengan gayanya yang lebay.
"ikut tante."
"ooooo..... kirain sendirian, kali aja lagi di rumah istri tua gitu Ndien...".
Tante Mer menampakkan ekspresi yang tidak menyenangkan, aku mencoba tenang menghadapi wanita super cerewet itu.
"nggak tante, mas Radit sengaja ikut, ini kan acara keluarga".
"ya ampun Ndien Ndien, coba aja kamu ikutan saran tante untuk kawin sama anak temennya mas Harmoko.... atau nurutin orang tuamu, bukan malah milih jadi istri muda, sayang Ndien, Magister kok di madu", gumam tante Mer, aku menunduk, hatiku teriris mendengar ucapan - ucapannya yang menyudutkan posisiku dan terlihat sanga tidak menyukai pernikahanku dengan mas Radit. Akhirnya malam itu aku menangis keras di dada mas Radit.
Apa yang salah dengan istri kedua, poligami atau dimadu?. Kalaupun aku sarjana program S2 atau S3 sekalipun, nggak ada kata nggak pantes ketika aku memilih laki - laki yang aku cintai. kami sudah menjalaninya, mereka tidak tahu kebahagiaan kami.
Seharusnya malam ini mas Radit  pulang kerumahku, sejak seminggu lalu dia di Purwokerto. Disana mbak Sahara tinggal bersama ibunya, mas Radit menemuinya setiap seminggu sekali. aku semakin gelisah, aku sedikit merasa terabaikan. kalau malam ini mas Radit tak pulang, apakah mungkin ia lebih mencintai mbak Sahara dibanding aku.
Aku bangkit, jam dinding menunjukkan pukul 11.23 malam. Aku duduk dikursi ruang makan kami. Di meja masih utuh terang bulan dan brownies serta beberapa tusuk sate kambing kesukaan suamiku. Aku sengaja menyiapkannya untuk menyambut kedatangannya malam ini. Sudah setahun ini, mas Radit tetap selalu adil dimataku. Ia selalu tepat membagi waktu, dan kami pun tak pernah bertengkar dalam rumah tangga. Aku menunggunya dengan perasaan tak menentu, sedikit cemburu mulai muncul dalam hatiku, aku memang perempuan kedua dalam hidupnya, dan inilah konsekwensi seorang perempuan kedua.
Tiiinnn….tiiinnn....
Suara klakson mobil suamiku membuatku bergegas menyongsongnya, hatiku amat bahagia, kegelisahan ku terbayar oleh kedatangannya.
Kubuka pagar besi dan kutunggu pria yang paling kucintai itu memarkir mobil dan keluar menemuiku. Ia terlihat sangat tampan, seperti itulah ia dimataku. Senyumnya mengembang lebar mengiringi derap langkahnya.
“hai sayang….apa kabar?”. sapanya. Aku tersenyum, di ciumnya keningku, semua sikapnya membuat diriku melayang – layang dalam keagungan cinta.
‘baik, mas gimana?”
“ya seperti ini, ayo masuk…. Katanya ada sate kambing, udah laper nih.”
Kami beriringan masuk rumah, aku segera menyiapkan makanan dan kami akan segera melepas rindu malam ini.
Aku melepaskan jaket dan sepatu mas Radt sebelum ia makan. ia tersenyum manis. senyum tulus yang selalu tampak menggoda siapapun yang melihatnya.
"I love you my wife "
"I love you too my husband"
kami menikmati makan malam sambil bercerita banyak hal dan sering di iringi candaan lucu mas Radit yang memang suka ngebanyol. senangnya bisa tertawa lepas seperti ini. tapi kadang aku bertanya sendiri, apakah ini nyata, ini seperti too good to be true.
“hmmmm, kenyang banget sayang…. Makasih istriku yang canntik ini…”,
Mas Radit mencubit pipiku lembut, aku memandangnya tanpa berkedip. Aku merasa bahgia seperti ini, bersamanya, aku yakin dia memang jodohku.   Aku bangga menjadi isrinya, aku taka pa membaginya, dan aku sangat mencintainya.
Dering lagu Bruno mars terdengar di handphone ku, segera kubuka satu pesan diterima disana.

1 message received from Karina:

Andien daripada kamu menerderita, daripda jadi istri kedua yang nyiksa batin terus. mending kamu minta cerai dan cari pendamping yang baru. Kamu itu cantik, pintar, magister pula.... ayolah Ndien, msih banyak kehidupan yang pantas buat kamu...

Aku tersenyum,dan dengan keteguhan hati aku segera membalas pesan dari sahabatku itu.

Sorry Karin…. Aku sayang banget sama suamiku,dan aku nggak peduli apapun keadaannya, cinta sejati tidak harus dia selalu di samping kita dan utuh kita miliki, tapi bagaimana kita membangun sesuatu yang baik dalam rumah tangga dan kehidupan.  

Massege delivered……

Mas Radit memandangku, kami berdua tersenyum, aku akan menjaga semua yang diberikan suamiku untukkehidupanku.





Jumat, 18 Mei 2012

jangan ucapkan selamat tinggal !


Bunga – bunga bougenvil berceceran ditanah, ku pijakkan kaki ku diantaranya, ku hitung langkah – langkahku dan aku berusaha tak menginjak satupun bunga – bunga yang telah gugur itu. Ujung kerudung hitam ku berayun – ayun dibahuku, angin yang basah membias dwajah ku, ku biarkan ia mendinginkan kedua mataku. Bau tanah basah menyeruak, tapi harum melati masih menutupinya, bunga putih itu seperti seseorang yang mencintai yang tidak pernah membenci walau luka sedalam apapun menderanya.
Aku menatap jauh langit yang mungkin bisa  kujadikan kanvas untuk melukiskan wajahnya, dan ketika ku kerjapkan mataku, ada guliran air menetes dan turun dipipiku. Kedua lututku terpuruk ditanah, aku menangis keras dan terduduk diantara gerimis yang mulai menetes satu – satu. Tubuhku lemas, bibirku bergetar hebat dan sekejap aku terkulai di tanah.
“Dini…..!”, teriak laki – laki tinggi tegap yang muncul dan berlari menemuiku yang hanya bisa mendengar samar suaranya. Ia meraihku dalam pelukannya. Air mata ku masih saja deras namun hanya tersisa sesenggukan yang masih menarik – narik    saluran pernapasan yang menghubung dengan diafragma, berpotongan dengan pembuluh darah vena yang masuk ke jantung, hingga terasa amat sesak.  Beberapa detik ia menatapku, aku merasakan getar kekhawatirannya terhadapku. Dengan sigap dibopongnya aku, nafasnya tersengal – sengal menahan tubuhku dikedua tangannya. Ia menidurkanku di sofa ruang tamu.
Sentuhannya tak ada yang menyamai didunia ini, dalam separuh kesadaranku, hatiku terus bergemuruh menahan rasa sakit dan cinta yang membuat ku terlalu mengagungkannya. Ku buka mataku mengikuti detik waktu hingga wajahnya jelas terlihat dimataku. Lelaki terbaikku itu mengusap sisa – sisa air mataku dengan jarinya. Kami tak menciptakan satupun kata, hanya mata yang mengisyaratkan rasa cinta yang ada dihati masing – masing. Aku menyadari seberapa banyak waktu yang tersisa untuk ku bisa bersamanya, aku mungkin bukan orang yang kuat untuk menghadapi semua itu.
Seharusnya aku menghargai tiap detik yang berjalan, menjadikannya tak sia – sia. Tangan kami sudah saling mengenggam ketika kami sama – sama terbangun dari renungan.Ia menarik tubuhku dalam dekapannya, aku merengkuhnya dan menyembunyikan sebagian wajahku dibahunya, ku pejamkan mataku merasakan degup jantungnya.
“kamu tau kalau aku sayang sama kamu Dik, jangan seperti ini”, suaranya terdengar berat dan parau. Aku masih diam, ku hirup nafas ku sangat dalam, aroma tubuhnya yang wangi merasuki aliran darahku.
“aku selalu ada disamping kamu dik….. aku nggak meninggalkan kamu….”, lanjutnya, suaranya bertambah sendu, kurasakan tarikan putus – putus di antara nafasnya, ia menangis.
Aku melepaskan pelukan itu, ku tatap dirinya yang bertambah tulus dihadapanku. Matanya memerah, hatiku terenyuh melihat sikapnya. Aku tak pernah menyalahkannya untuk semua kenyataan ini dan aku tak pernah membencinya karena  ada sebuah kekuatan yaitu kami saling mencintai. Ku sunggingkan senyuman samar agar aku terlihat telah baik – baik saja.
“ma’afin aku ya…….”, ucapku pelan tapi kupastikan ia masih bisa mendengarnya.
“aku banyak salah sama kamu Dik, harusnya aku yang minta ma’af….”
“harusnya aku nggak seperti ini Mas, harusnya aku bersyukur kamu masih peduli sama aku…..”. seruku seperti orang yang berhati besar. Ia mendekatkan bibirnya untuk mencium keningku
“kamu tetap yang terindah dalam hidupku Dik…..”, ucapnya, deretan kata itu seperti bongkahan es yang mendinginkan ku. Aku luluh dalam lingkaran kedua tangannya.
Diluar hujan mulai turun, bukan lagi gerimis kecil – kecil. Aku sadar, tempatku sudah di tentukan. Aku tak akan menuntut lebih dari ini, cukup bagiku dia ada di dekatku dan masih mencintaiku. Aku abaikan seluruh rasa sakit dan kubangun sikap menerima dengan lapang apapun yang diberikan Tuhan kepadaku.
 “aku sudah tunangan Dik…”, ucap lelaki berhidung mancung itu beberapa waktu lalu, sekitar sebulan lalu. Saat itu kami menghabiskan waktu bersama, tak ada masalh, tapi ia mengungkapkan kejujuran yang justru membuat hatiku hancur dan robek begitu dalam. Aku diam, kami saling berpandangan.  Hatiku seperti mati rasa, mungkin karena terlalu sakit. Pita suaraku seperti terkunci, tak mampu mengeluarkan sepatah katapun, bisu.
“ma’afkan aku Dik …. Tapi aku harus jujur, aku nggak mungkin membohongimu terus menerus….”, jelasnya, satu sayatan lagi pada hatiku. Aku masih diam, bumi seakan berayun – ayun dan membuat tubuhku seperti tak bertulang. Ia menarikku kedadanya, disitulah tangisku tumpah tak terbendung lagi.
Aku tak bisa memarahinya atas semua yang telah dilakukannya terhadapku, aku tak mungkin mencaci maki dan membalasnya dengan kata – kata yang menyakitkan hatinya. Aku telah mencintainya, begitu mencintainya. Ia datang dan meyakinkanku atas rasa cinta dan keinginannya bersamaku dan aku menerimanya. Aku tak bisa menuntutnya tak seperti itu karena kenyataannya memang  seperti itu.  Dalam waktu yang singkat aku belajar menghargai sebuah kejujuran.
“kenapa kamu membohongiku selama ini mas Doni…..”, ratapku.
“ma’af Dik, tapi aku benar – benar sayang kamu…”, serunya dengan sedikit tekanan.
“aku juga sangat sayang sama mas…………”
“kenapa kamu nggak marah…. Tampar saja wajhku dik, aku pantas menerimanya… “ katanya sambil memegangi kedua pipiku, aku menggeleng.
“apa kamu juga mencintainya mas?”, tanyaku dengan suara yang kubuat sangat halus. Ia mengangguk.
“aku mencintainya dik, kami berhubungan sejak 4 tahun lalu…’, jawabnya. Hatiku terasa semakin perih.
“aku nggak bisa hidup tanpa kamu mas…..”.
Aku menubruknya, ku peluk erat dirinya. Entah kenapa aku begitu takut ia mengucapkan selamat tinggal padaku. Aku tak banyak memikirkan wanita itu, aku juga tak memikirkan bagaimana agar Mas Doni kumiliki seutuhnya.
Aku sadar seperti apa diriku, ini memang sesuatu yang sudah pantas untukku, tidak bisa lebih dari ini, ini yang paling baik. Bersyukur itu sulit ketika kita harus menanamkan rasa sabar dan keikhlasan, aku bersyukur tapi hatiku selalu merasa sakit. Banyak cara mensyukuri keadaan yang kita terima, aku bersyukur dengan tidak meminta lebih dari ini.
Aku telah mengenal wanita itu dari foto – fotonya, dia cantik. Dia wanita yang sangat beruntung. Mas Doni sangat mencintainya, mungkin dia bukan lelaki setia, tapi ia tak pernah meninggalkannya, dan itu adalah sebuah keberuntungan, aku sangat berharap ia bisa bersyukur seperti aku.
 Aku dan lelaki bermata elang itu masih duduk bersisian, kepalaku menempel pada pundaknya. Aku tak ingin memilikinya, tapi aku sangat takut kehilangannya. Gemuruh di dadaku masih belum reda, tak mudah menjadi aku.
“mas kemana satu minggu ini?”, tanyaku setelah lama terdiam.
“aku sedang ingin sendiri Dik….. ma’af membuat kamu seperti ini menunggu aku.”, jawabnya dengan suara basnya yang terdengar amat sejuk.
“aku takut kehilangan kamu mas, jangan tinggalin aku….”.
“sampai kapan kita akan seperti ini Dik?”.
Pertanyaannya membuat ku memalingkan pandangan ke wajahnya, matanya memancarkan rasa bimbang.
“sampai aku mati mas….”. ucapku pasti.
“jangan bicara seperti itu Dik, aku nggak suka kamu ngomong seakan – akan kamu mau mati, jangan buat aku takut….”. suaranya meninggi.
“aku nggak bisa hidup tanpa kamu mas, kalaupun kita harus berpisah, aku nggak mau kalau aku yang ditinggalkan, biar aku saja yang pergi pada saatnya nanti….”.
“jangan putus asa seperti itu Dik, kamu harus mengerti posisiku, aku sudah tunangan dan harus menikahinya, aku nggak tega menyakiti dia”.
“aku nggak meminta mas menyakiti atau meninggalkan dia, aku ngerti mas harus menikahi dia, aku tau aku disini siapa…. Aku….”.
Aku terhenti, ia menempelkan telunjuknya kebibirku. Di pegangnya sebelah pipiku, aku diam merasakan nafasnya yang berhembus diwajahku.
“jangan menangis lagi, mas nggak akan meninggalkan siapa – siapa….”. serunya.
Kalimatnya seakan menjadi penahan rasa sakit pada luka – luka dihatiku, aku sangat bahagia. Ku cium sebelah pipinya, ia tersenyum amat manis.
Lewat jendela terlihat gambar pelangi dilangit ujung sana, begitu indah. Tujuh warnanya bersisian dan tak saling berselisih, aku yakin kami pun bisa seperti itu walaupun berada di tempat yang sama. Merah lebih terang daripada hijau…. tapi hijau masih punya tempat disisi kuning sama seperti merah. Dan biarlah hari ini kuning dan hijau bersatu diantara senja yang singkat dan hilang saat tiba malam. Dan aku hanya meminta waktu senja saja untuk bersamanya, masih ada waktu malam, siang, pagi dan sore untuk ia kembali. Aku sangat mensyukuri senja yang kumiliki dan aku berjanji takkn mengambil lebih dari ini.  




Senin, 02 April 2012

Sunday...............

Today and everyday, I stand up with happiness ......

Tuhan selalu memiliki rahasia terindah yang di simpannya sebagai anugerah terindah pula untuk seorang manusia, siapaun yang menjauhi rasa benci pasti pun akan di dekatkan dengan anugerahNya. Dia juga memberikan rasa, kemampuan untuk mengingat dan melupakan, kemampuan untuk berfikir dan menjalani sebuah kehidupan.

Ketika itu aku duduk di bangku panjang ruang tunggu stasiun kota, rasanya sudah cukup aku menangis dan membiarkan diriku dijajah rasa sakit dan kecewa. I must not give up, semua yang terjadi tak pantas untuk ku sesali atau aku ungkit lagi sebagai sebuah kesalahan yang begitu menyakitiku. Sementara aku putuskan untuk meninggalkan Malang, aku hanya ingin pergi dan menata kehidupanku lagi untuk beberapa waktu. walaupun berat dan sakit, bagaimanapun aku memang harus melepaskan Nizam  untuk menikah dengan wanita lain pilihan orang tuanya.

Hari itu hari minggu, 12 april, tepat dimana Nizam melangsungkan pernikahannya. Aku telah memastikan bahwa aku tidak akan hadir di sana, aku ingin pergi jauh dari kehidupannya mulai hari itu. Berbekal setitik ketegaran aku ingin membuka lembaran baru dan hidup kembali di kehidupan yang lain, dengan ini aku pasti akan mampu menghapus dan melupakan rasa benci di dalam hatiku.

Kereta menuju Banyuwangi baru akan datang setengah jam lagi, stasiun tidak begitu ramai meskipun hari itu adalah hari minggu. Tas besarku tetap ku letakkan dipangkuanku, hanya itu yang ku bawa untuk waktu yang belum ku tentukan berapa lama untuk pergi. Sesaat, seorang laki - laki dengan sebungkus roti yang di lahapnya sejak tadi menjajariku duduk, penampilannya cukup menarik, tapi aku merasa risih dengan gayanya yang slenge'an. Ia memandangku dan menyodorkan roti yang telah di gigitnya, aku menggeleng. Ku geser letak dudukku lebih jauh darinya, ia tersenyum.

" mbak merasa terganggu?", tanyanya. Aku tak merespon.
" kalau iya saya pergi aja", lanjutnya sambil beringsut dari duduknya.
 " nggak usah...", larangku, ia menoleh kerahku dan membatalkan niatnya untuk pergi. Ia kembali tersenyum, aku salah tingkah.
"mbak mau kemana?".tanyanya lagi masih dengan mulut yang sibuk mengunyah roti.
"Banyuwangi", jawab ku sambil sedikit mengulas senyum untuknya. Ia mengernyitkan dahi sejenak dan kemudian mengangguk - anggukkan kepalanya.
Ia menggodaku dengan menatapku lekat - lekat, aku semakin salah tingkah.
"mbak cantik ya", serunya. Aku memandangnya tak enak.
"saya foto boleh nggak, saya wartawan lo, nanti biar saya masukin ke majalah saya", lanjutnya sambil mengarahkan kamera yang tergantung dilehernya ke arhaku, aku memalingkan badanku dan menutupi sebagian wajahku dengan jilbabku. Ia masih tersenyum dan membatalkan usahanya mengambil gambarku.
"okey", katanya.
Aku sedikit kisruh dengan caranya memperlakukanku.
"mbak kenapa terlihat tegang? apa saya aneh?", tanyanya lagi. Aku diam, laki - laki ini begitu misterius.
"anggap saja saya ini teman lama, karena kita bertemu cuma sekali ini saja", lanjutnya sedikit mendramatisir.
"mengapa mas bicara seperti itu?, bukankah sekarang dunia seakan sempit, jarak bisa di paksa oleh waktu mas...", balasku, ku tatap ramah wajahnya yang memang cukup tampan .
"mbak pantas bicara seperti itu, tapi perasaan tidak bisa dimainkan".
"maksudnya?" tanyaku heran. Dia menggesr letak duduknya menghadap kearahku.
"dari awal saya duduk disini, saya sudah terkesan dengan mbak, saya terkesan dengan wewangian yang mbak kenakan, saya terkesan dengan dua mata indah di bawah alis tebal, saya terkesan dengan wajah mbak yang merona", ucapnya yang sedikit terkesan gombal. Tapi entah mengapa hatiku seperti diberi angin dari tiap kata - kata dan senyum yang selalu mengembang dibibirnya.
"lalu?", tanyaku.
"justru itu saya tidak ingin berkenlan", katanya, aku sedikit  terkejut, dia semakin membuatku penasaran. Refleks ku ulurkan tangan kearahnya.
"Sora", ku sebutkan namanku, dia malah tersenyum, tak disambutnya uluran tanganku, aku semakin heran.
Diangkatnya tangan kanannya dan menggoyangkan sebagai penolakan,ia masih tersenyum.
"nama mas siapa?", tanyaku..
"kalau kita saling kenal dan  tidak lagi bertemu itu hanya menyisakan bayangan".
"mengapa kita tidak berusaha mengenal untuk berusaha bertemu", kataku dengan harapan dari hatiku.
"karena pertemuan  pertama menyisakan rasa penasaran, dan pertemuan kedua akan menyisakan rasa rindu. Dan saya tidak mau merindu", jelasnya tegas.
"maksudnya", aku semakin tak mengerti.
"biar takdir yang mempertemukan kita, saya akan mengingat wajah mbak, kalaupun mbak tidak ingat wajah saya, yang penting saya mengingat nama SORA"
"semoga kita bisa bertemu lagi".
"semoga Allah memberikan yang terbaik buat kita".
"maksudnya???",aku sulit mencerna kata- katanya yang terlalu dilematis
Tiba- tiba suara kereta jurusan Banyuwangi terdengar memasuki stasiun.
 "keretanya datang" serunya.
Aku mencari arah suara kereta, benar saja, kereta buatan tahun 90 an itu sudah nampak mendekat. Ku tolehkan pandanganku kerarah lelaki misterius itu, tapi dia sudah tak ada disana.

Banyak hal penting yang aku temui di hari minggu, hari itu mulai terpikir sebagai hari bersejarah dalam perjalannan hidupku. Jika ada orang yang bertanya tentang "When the special moment in your life?"", aku akan menjawab "On sunday".......

Semua tidak berakhir sampai disitu, Inilah yang ku maksud sebagai rahasia dan anugerah terindah Tuahan, seminggu di banyuwangi, aku menemukan lelaki misterius itu lagi. Aku benar - benar tak menduga bahwa dia adalah seorang ustad di daerah tempat kakek ku tinggal, tempat yang kini ku jadikan tempat reinkarnasi diri.
Aku pun tau, namanya Haikal, aku melihatnya mengimami shalt isya dimasjid. Entah kenapa aku sangat tergerak untuk selalu melihatnya, ada kekaguman tersendiri dalam hatiku terhadapnya. Usai shalat, pertemuan kedua itupun tidak bisa dihindari, aku tersenyum dari kejauhan, ku lihat dia menatapku dengan wajah yang nampak sangat terkejut dan seakan tak menyangka. Aku berdiri menunggu dirinya yang perlahan menghampiriku, senyumnya kembali ku lihat mengembang ketika ia telah berada dihadapanku

"assalamualaikum", ucapnya.
"wa'alaikumsalam", jawabku dengan senyum termanisku.
"hai Haikal..", lanjutku, ia nampak semakin terkejut.
"dariman kamu tahu nama saya Haikal?".
"siapa yang tidak mengenal nama Haika di daerah inil".
"kenapa kamu ada disini", tanya Haikal dengan bianar mata penuh kebahagiaan.
 "karena takdir mempertemukan kita", jawabku pasti. Ia masih tersenyum.
"aku cucunya pak Lukman", lanjutku.
Haikal mengangguk - angguk.
"aku pamit pulang dulu.... assalamualaikum", seruku menucap salam.
"wa'alaikumsalam".

Itu terjadi bertepatan seminggu setelah pertemuan kami di stasiun, tentunya juga hari minggu. mungkin hari minggu adalah hari yang diciptakan Allah sebagai hari kami, hariku dan suamiku, Haikal. Moment spesial yang paling penting juga tak dapat di rencanakan dan dirancang disaat semuanya telah ditetapkan Allah untuk terjadi, tepat hari minggu 20 Mei, Haikal melamarku.

 "sudah beberapa hari ini aku tidak mendengarkanmu tadarus?", tanyanya saat datang kerumahku.
"aku belum lancar membaca Al qur'an", jawabku.
"nannti aku ajarkan".
"aku tidak punya Al qur'an".
"nanti kuberikan milikku untukmu".
kamu serius?".
Haikal mengangguk, sesaat kami terdiam. Kami saling berpandangan.
 "ada satu hal lagi yang ingin ku sampaikan", serunya, wjahnya terlihat serius.
"apa itu Kal?".
"aku menemukan hatiku dalam dirimu".serunya, aku tersipu.
"kalu boleh aku tau, seberapa dalm kau melihatnya?".
"aku tidak bisa melihatnya Sora".
"kenapa?".
"karena terlalu dalam, yang ada hanya ketulusan cinta yang kini hidup di dasar hatimu". seru Haikal, aku tersipu.
"maukah kau menikah denganku?", lanjutnya. Hatiku serasa sangat dingin, air mata haruku merebak dikedua mataku, aku benar - benar merasa sangat beruntung. Dengan pasti, kuanggukkan kepalaku, kami tersenyum bahagia.
"Kal, aku berjanji........ aku akan menjaga kebahagiaan yang telah kamu berikan dalam hidupku". ucapku penuh rasa syukur. Thanks God, You have given me the best day, SUNDAY........

Senin, 26 Maret 2012

Ketika Hati Bicara Rasa

Mendung masih menggantung dilangit, rintik – rintik hujan terlihat menetes kecil – kecil. Pemakaman telah usai beberapa jam lalu, rumah nomor 42 itu mulai terlihat lengang, hanya ada beberapa anggota keluarga dan tetangga dekat yang tinggal. Gadis kecil berumur 9 tahun itu telah tiada, foto dengan frame besar masih terpajang diruang tamu sebagai pengenang raut wajah polosnya. Maya, ibunya, terduduk dilantai beralas permadani, menyandarkan punggungnya di dinding dengan pandangan kosong, matanya sembab, hanya tinggal sisa – sisa air mata ditepian matanya. Ia wanita yang tegar, hatinya ikhlas merelakan  putri kecilnya pergi untuk selamanya.
Bagi seorang ibu, anak adalah separuh kehidupannya. Begitu pulalah yang di rasakan Maya, Hanisa adalah hartanya yang paling berharga di dunia ini. Ia membesarkan Hanisa sendirian, segala kepedihan, kesusahan dan perjuangan telah di lewatinya tanpa orang – orang yang seharusnya bersamanya.
Seorang laki – laki berwajah cukup tampan di usianya yang  mungkin sudah kepala tiga dan tampak sangat berwibawa menghampiri ibu yang baru saja kehilangan putrinya itu. Di sentuhnya bahu Maya, ada wajah penuh penyesalan yang memancar diantara dua matanya yang iba menatap Maya, ia adalah Muhammad  Prayoga, seorang Gubernur yang dikenal sangat peduli dengan masyarakat daerahnya.
“ma’afkan aku May……… “, ucap pria terhormat itu lirih.
Maya tak merespon, air matanya malah kembali mengalir dari matanya yang  besar dan indah. Hatinya beku, laki – laki yang kini di sampingnya telah lama dianggapnya tak pernah ada, dia telah lama mati dalam hati Maya. 9 tahun bukanlah waktu yang singkat dan bukan saat yang mudah bagi wanita yang harus menanggung beban seorang diri dengan beribu cercaan dan makian dari orang – orang di sekelilingnya, luka telah membuat hati seorang wanita  mengeras bahkan untuk permintaan ma’af yang sangat tulus sekalipun.
Pak gubernur yang lebih suka dipanggil dengan nama kecilnya sebagai Yoga itu menunduk , dihelanya nafas panjang beberapa kali, Maya tak juga bergeming. Betapapun wanita malang didekatnya itu adalah wanita yang amat di cintainya. Telah lama ia menanti saat ketika tangannya bisa menyentuh kembali tubuh wanita luar biasa yang tak pernah lekang di hatinya itu, cintanya selalu terjaga hanya untuk anggrek bulan yang lama hilang dari hidupnya. Kini kembang itu kembali, tapi ia telah berubah menjadi putri malu berduri yang menutup rapat – rapat dirinya saat tersentuh lagi oleh tangannya meskipun itu dengan kesungguhan yang terdalam dari hatinya. Maya masih seperti 9 tahun yang lalu, teguh, kuat dan keras hati, yang berbeda kini…. Yoga tak bisa menyentuh hatinya lagi.
“Anak itu titipan May, sudah seharusnya kita merelakannya dengan ikhlas…..”, lanjut Yoga dengan rentetan kata bernada halus dari bibirnya.
“tau apa kamu tentang ikhlas dan arti seorang anak bagi orang tua yang membesarkannya…”, respon Maya dingin. Yoga memandangnya dalam, hatinya berkecamuk, ia mungkin laki – laki paling nista di hadapan Maya.
“aku tau May, tapi Halisa adalah anak kita……. “,jawab Yoga masih dengan intonasi rendah.
“apakah bagimu dengan menikahi ibunya sebelum ia pergi dari dunia ini itu cukup untuk menjadi seorang ayah”, mata Maya merebak, hatinya amat sakit.
“ma’afkan aku May, aku tau walaupun aku bersujud di kakimu takkan mampu mengobati semua rasa sakit yang kamu rasakan. Tapi apa yang telah terjadi bukanlah keinginan ku….”, jelas Yoga.
 “Bapak gubernur yang saya hormati, saya juga tidak pernah menginginkan menjadi perempuan yang hamil di luar nikah dan membesarkan anak seorang diri selama 9 tahun”, Maya menatap Yoga  dengan tatapan menuntut, semua yang telah di laluinya membuat nya tak bisa menerima apapun kata –kata dari mulut Yoga.
“kamu yang membohongiku May…… saat itu kamu bilang kalau kamu  akan menggugurkan kandunganmu….”,.
“aku tidak berkata seperti itu, aku hanya bilang kalau masalahmu akan teratasi….”.
“tapi kenapa…., aku mencarimu May……sungguh”. Yoga menggenggam tangan maya.
“bukankah saat itu kamu harus mengejar cita – citamu, menjadi orang besar, menjadi pemimpin, menjadi kebanggaan orang tuamu?”, Maya terisak.
“Maya……..”,
“Sekarang semua yang kamu inginkan sudah terwujud……, tapi aku bukan bagian dari cita – cita hidupmu”. Lanjut Maya, suaranya melemah.
“kamu menghilang May, kamu putus semua jaringan, aku tidak bisa menemukan kamu….”, Yoga sedikit berani membela diri.
“Lalu apakah kamu mau kehilangan masa depanmu jika aku tidak hilang? Bukankah kamu lebih rela menyuruhku aborsi daripada menikah denganku”, suara Maya kembali meninggi, luka di hatinya terasa kembali perih.
“aku tau aku salah May, untuk itu aku meminta  ma’afmu, aku terima semua yang akan kamu lakukan terhadapku asal itu bisa menggantikan semua rasa sakitmu”, ucap Yoga sungguh – sungguh.
“tidak ada yang bisa menggantikan rasa sakitku,”
“kita sudah menikah…. Tidakkah bisa kamu memberi kesempatan untukku  mencoba memperbaiki semuanya?”.
“bukan aku yang menginginkan pernikahan ini…. Semua ku lakukan untuk kebahagiaan Halisa di sisa hidupnya….”.
“Maya, Halisa pasti akan terluka di alam sana dengan sikapmu ini…..” Yoga berusaha membuka hati Maya,
Maya beranjak dari duduknya, perasaannya tak menentu. Di tinggalkannya Yoga yang masih terpaku dalam rasa penyesalan dan harapannya akan kembalinya cinta Maya.
Rumah sederhana bercat kuning itu lengang, 3 hari telah berlalu sejak Halisa meninggal dunia. Maya menolak untuk tinggal di rumah gedung gubernur, ia keukeuh untuk tetap tinggal dirumahnya. Hati Maya belum juga melunak, ia benar – benar sulit menerima kehadiran Yoga kembali dalam hidupnya meskipun mereka telah menikah. Jabatan besar sebagai gubernur Banten tidak membuat Yoga merasa harus mempertahankan harga diri yang tinggi, baginya kesalahan adalah sesuatu yang harus digantikan. Maya adalah cinta pertamanya, mereka menjalin hubungan sejak SMA sampai menjelang masuk Perguruan Tinggi,  mereka melewati batas sebagai pasangan yang belum terikat perkawinan, Maya hamil, tapi saat itu Yoga benar – benar bingung dengan semua kenyataan itu. Ayahnya yang juga orang penting dalam pemerintahan daerah Banten sangat menginginkan dirinya bisa menjadi orang besar, tiket pesawat menuju California dan menempuh study di sebuah Universitas di sana memaksanya memilih, belumsempat ia menetapkan pilihannya, Maya lebih dulu  memilih meninggalkannya. Kini, jabatan sebagai gubernur tidaklah begitu penting untuknya, dengan sabar ia tetap menemui Maya meskipun ia harus tinggal di rumah yang tidak serupa dengan rumah seorang gubernur.
Maya terduduk di kursi rotan yang menghadap persis ke kolam ikan buatan yang terdapat air mancur dngan gemericik gaduh. Ia masih merasakan betapa pedihnya saat – saat berat dalam hidupnya, sulit menghapus ingatan masa suram itu dari pikirannya. Bagaimana ia hamil dan orang – orang menganggapnya wanita murahan, cibiran, cercaan.. bagaimana ia membesarkan Halisa dengan jerih payah dan kerja kerasnya sendiri, bagimana ia harus menerima kenyataan bahwa Halisa mengidap penyakit kanker otak, bagaimana ia harus kehilangan putri satu – satunya sekaligus permata dalam hidupnya. Apakah dia harus mengatakan bahwa ia sangat membenci pria itu?, hatinya begitu mendendam, luka itu sngat parah.
Prayoga menemuinya disana dengan senyum yang mengembang di bibirnya, Maya hanya menatapnya dengan ekor matanya.
“sudah makan May??”, Tanya pria teguh di hadapannya.
“Aku ingin bercerai”. Ucap Maya tegas, Yoga tampak terkejut.
“Maya, katakana saja apa yang harus aku lakukan agar membuatmu mema’afkanku….”, seru Yoga tenang, meskipun hatinya sedih dan risau.
“itulah yang membuatku mema’afkanmu”.
“jangan mendustai hatimu”.
“aku tidak penah berdusta untuk kepedihan yang aku rasakan”.
“aku sangat mencintaimu May, tidak ada perempuan lain di hatiku”.
“aku sangat membencimu, bahkan orang yang paling aku benci ddunia ini”.
“aku tidak akan menceraikanmu”
“kalau begitu aku tidak akan pernah mema’afkanmu”.
“aku akan melakukan apapun agar kamu memahami semuanya, akan ku pertaruhkan segalanya, harga diriku, kehormatan bahkan nyawaku sendiri”.
“akan ku siapkan surat gugatan cerai segera”,paksa Maya, ia beranjak dan meninggalkan laki – laki sabar yang tengah menata hatinya. Maya benar – benar teguh, luka membuatnya meletakkan keegoisan ketempat tertinggi.
Pemerintahan Daerah provinsi Banten akan mengadakan aacara peringatan ulang tahun Banten. Gubernur daerah seyogyanya akan tampil untuk berpidato dan menyapa masyarakat Banten. Muhammad Prayoga mengerutkan keningnya menjelang pidatonya, hanya ada bayang – bayang wanita berhati batu itu di pelupuk matanya. Kata – kata Maya terus terngiang di telinganya, ia begitu takut kehilangan wanita yang amat dicintainya untuk yang kesekian kali. Hidupnya kini hanya tertuju pada Maya, istri yang di nikahinya seminggu lalu untuk putrinya.  
Kamera wartawan berkilat – kilat menuju tubuh tegap bapak gubernur yang siap menuju mimbar kebesarannya, semua media masa, pers bahkan masyarakat Banten kini ada dihadapannya untuk mendengarkan pidato orang kebanggaan mereka. Muhammad Prayoga mengulas senyum simpul, Maya Purnama juga mungkin tengah melihatnya di televisi.
“hadirin dan seluruh masyarakat Banten yang saya hormati…..”ucap Pak gubernur membuka pidato.
“saya berdiri disini sebagai orang biasa, bukan lah seorang gubernur atau wakil pemerintahan Banten….”.
“saya telah brpikir masak – masak untuk keputusan saya ini. Bersamaan dengan berakhirnya pidato saya nanti, saya siap untuk di copot dari jabatan saya”.
Semua mata menatap penuh rasa heran, bagaimana mungkin seorang gubernur melakukan pidato yang tidak layak seperti itu.
“saya hanya ingin mengakui satu kesalahan terbesar saya di hadapan semua masyarakat dan semoga ini bisa menebus semuanya.  Saya pernah menyakiti seorang wanita dalam hidup saya.”, Yoga menghentikan ucapanya sejenak, di  teguhkannya hatinya.
“saya jga pernah memiliki seoang putri di luar ikatan perkawinan. Saya menyia – nyiakan wanita yang telah mengandung anak saya hingga dia harus menanggung beban hidup seorang diri. Dihadapan semua masyarakat, saya katakan siapa saya sebenarnya.  Saya tidak memikirkan jabatan saya sebagai gubernur Banten lagi, saya mungkin tidak begitu pantas untuk menjabatnya karena saya adalah orang yang gagal dalam kehidupan. Pengakuan ini saya tujukan untuk istri saya yang saya cintai, Maya Purnama, ma’afkan semua kesalahan saya”.
Sejenak orang – orang di sekitar panggung kebearan tampak tercengang, Muhamma Prayoga tersenyum, para wartawan semakin gencar mengambil gambarnya, ini adalah berita paling  besar dalam periode sejarah,  dial ah satu – satunya gubernur yang berani dan sangat tidak memikirkan kehormatan dan wibawanya sebagai orang penting . Mungkin para wartawan itu akan menulis judul besar di Koran – korannya “Gubernur Banten Akui Hamili wanita dan Siap di Copot”.
“Terimakasih, salam sejahtera untuk masyarat Banten, Dirgahayu”, Muhammad Prayoga menutup pidatonya. Tak disangka, para hadirin menyambutnya dengan tepuk tangan dan sorak sorai yang membahana, ada banyak orang yang kagum pada sikap berani pak gubernur dan tak sedikit yang menganggapnya nyeleneh. Dengan langkah pasti, Yoga turun dari mimbar kebesarannya.
Mobil verary abu – abu milik Yoga akhirnya lolos dari kejaran wartawan yang masih penasaran dan masih sibuk berburu informasi untuk berita terhangat mereka. Perasaan pria itu masih tak menentu, ia memang tak memikirkan harga dirinya lagi, mungkin begitulah yang di rasakanMaya ketika harus mengorbankan harga dirinya dan dicap sebagai wanita murahan saat mengandung.
Muhammad Prayoga sang gubernur itu melihat wanita yang semakin tampak ayu di depan pintu, perlahan di dekatinya pemilik rambut panjang dan ikal yang memiliki kulit putih bersih itu. Pandangannya sayu, lurus seakan menembus jantung Yoga, kini mereka berhadap – hadapan. Empat mata mereka sling berpandangan, diam, bisu……
Maya meraih tubuh Yoga seiring isak tangisnya, ketika hati mulai bicara, maka kekuatan cinta meluruhkan semua rasa benci di dalam hati. Yoga memeluk erat wanita itu, matanya pun ingin menangis, walaupun ia seorang lelaki.

Kamis, 22 Maret 2012

Jika Aku Bisa........

Ku pandangi selembar potret beku di bingkai berbentuk hati yang menyimpan wajahnya, seorang pria berambut cepak dan berlesung pipi yang berpose manis merangkul ku . Malam selalu menayangkan mimpi - mimpiku tentangnya, senyumnya, bahasanya, keramahannya........ aku menjadikannya bunga aster yang memutih dihatiku. Aku berkenalan dengannya di cafe tempat ku dan teman - teman nongkrong atau sekedar kumpul -kumpul, Tangannya dingin ketika menjabatku, mataku tak bisa membuang rekaman moment itu bahkan genggamannya mengalirkan energi elektromagnetik yang membuat darah ku bergelombang hebat.

"hai,boleh tau namanya?", sapanya, suaranya jernih walau seperti suara sopran yang sedikit tidak sesuai dengan pita suara laki - laki segagah dirinya.

"Karina", balasku sambil mengulas senyum.

"Bisa nyanyi?", tanyanya padaku.

"sedikit.....", jawabku ragu, ia tersenyum dan menarikku dari tempaku duduk.

Kini aku mendampinginya diatas panggung kecil di hadapan pengunjung cafe malam itu. Ia memandangku dengan matanya yang semakin membuat engsel - engsel kaki ku lemas. Jari  - jarinnya mulai memetik gitar.

"Gaby, "begitu indah" Karina.....", serunya menyebutkan judul lagu yang harus kunyanyikan. Aku mengangguk.

Kami menyelesaikan lagu itu dengan kolaborasi yang sangat baik, dengan iringan not not yang dimainkannya dalam petikan gitarnya, aku bernyanyi dengan hatiku. Hal biasa untuk ku sekedar menyanyikan lagu lama sebagai vokalis band, temanku Jeni yang memintanya mengajakku bernyanyi.

Dia pengiring lagu baru di cafe ini, mulai saat itu aku semakin sering melihatnya memetik gitar untuk mengiringi lagu yang dinyanyikan penghibur cafe. Gayanya memainkan gitar, tampilannya yang modis dengan jaket kulit hitam dan jam tangan Swiss Army yang melingkar ditangannya, dia begitu indah.

Ia pribadi yang terbuka, kami cukup dekat sebagai teman, tapi aku merasakan sesuatu yang lebih dari sekedar teman. Kami sering menghabiskan waktu bersama, dia begitu lepas, tidak ada batasan atas semua sikapnya, aku sangat tenang tiap kali dia merangkul dan menggandeng tubuhku. Pengharapanku terlalu tinggi untuk ku sandarkan padanya, tapi dia tak pernah bicara cinta.....

12 Maret, hari ini tepat hari ulang tahunnya. Aku mendapatkan data itu dari akun facebooknya. Sengaja ku siapkan sebuah kue tart manis untuknya, ada dua buah lilin diatasnya dengan hiasan krim berbentuk  mawar - mawar merah dan tulisan "happy birthday Eka". Kusiapkan hatiku pula untuk mengatakan segala angan dan rasaku untuknya disaat yang begitu berarti miliknya ini.

Untuk pertama kalinya aku berkunjung ketempat kosnya, aku berharap semoga ini akan menjadi surprise terindah untuk Eka. Kamarnya dibagian belakang, teman satu kosnya memberikan jalan untukku menemuinya.

"Eka itu anaknya tertutup mbak, kita - kita aja nggak pernah di ijinin masuk kamarnya", seru teman satu kos Eka yang bertubuh agak gemuk dan berambut ikal.

"masa sih mas, ya biar saya aja yang masuk kamrnya deh", responku, dia tertawa.

"ya udah coba aja, ayo saya antar", tawarnya.

Kami tiba didepan kamar Eka terletak paling pojok. Aku mengetuk pintu, kue tart di tanganku lilinnya sudah menyala terang. Eka membuka pintu dan nampak terkejut.

"happy birthday to you....happy birthday to you....happy birthday happy birthday...happy birthday Eka...",aku menyanyikan lagu ulang tahun untuknya, ia tersenyum dan meniup lilinnya.

"makasih Karina.....", serunya berterimakasih, aku mengangguk.

Benar saja, ia mengijinkanku masuk kamar. Kamarnya tidak terlalu lebar, tapi sangat nyaman, tidak biasa ketika ada seorang laki - laki yang menata kamarnya amat rapi dan wangi, bahkan ada bunga sedap malam disudut ruangan. Ia menjajariku yang sejak tadi terduduk diatas kasur bersprei biru dan meneliti seisi kamar.

"kenapa, ada yang aneh?", tanyanya.

"rapi banget...", jawabku.

"Karin, ada yang mau aku omongin sama kamu...", katanya lagi dengan nada serius. Aku memandangnya dengan harapan ia akan mengatakan cinta padaku, seperti mimpi - mimpiku selama ini.

"apa?", tanyaku dengan hati dag dig dug.

Ia menarik nafas dan menggeser letak duduknya lebih dekat denganku.

"Sebelumnya aku pngen tau......kenapa kamu baik banget sama aku?', ucapnya. Aku menata barisan kata sebelum menjawab pertanyaannya, semoga tidak ada yang salah.

"aku sayang kamu Ka.....", jawabku tenang.

Ia malh memandangku lekat - lekat, respon yang justru membuat erasaanku semakin tak enak.

"ini yang aku takutkan......", serunya.

"maksudmu?", tanyaku dengan hati yang tak menentu.

"apakah kamu pernah berpikir bahwa aku bukanlah seorang laki - laki?".

Pertnyaan Eka seperti halilintar yang menyambar dan merobohkan rasa yang selama ini kukumpulkan.

"Aku nggak ngerti, ....", ucapku dengan mata yang mulai perih.

"kita ini sama Karin, aku adalah perempuan sepertimu, aku memang seorang laki - laki selama ini, tapi itu adalah tuntutan hidup yang harus aku jalani...", jelasnya, aku serasa ingi pingsan, hatiku bergejolak dan terasa sangat sakit.

"Itu nggak mungkinnn....", teriakku. Ia menggenggam taganku, bibirk bergetar menahan kekecewaan dalam hatiku.

"keluargaku  orang yang sangat tidak mampu Karin, aku menghidupi 4 orang adikku dan ibu ku yang sedang sakit di Indramayu. Aku harus menjadi orang yang kuat ketika harus bersaing mendapatkan pekerjaan di Jakarta ini. Menjadi satpam dan pengiring lagu di cafe adalah satu - satuya usaha yang bisa aku lakukan. Aku terpaksa menutupi identitasku dan menjadi laki - laki agar aku bisa menjalani pekerjaanku. Aku sangat senang mengenalmu.....sungguh..... tapi inilah kenyataannya", ceritanya, aku tak mampu lagi berkata - kata, semuanya telah hancur...... ini gila bagiku.

"Ma'afkan aku membuatmu salah menempakan aku dalam hidupmu....",katanya lagi.

"pandai sekali kau menarik hati seorang wanita....... apakah tidak bisa kenyataan ini dirubah agar hati ini tidak terluka?", ucapku degan bibir gemetar.

"jika aku bisa, aku akan memilih menjadi seorang laki - laki agar bisa menjaga hatimu", ucapnya.

Tangisku tumpah, tak tahan lagi aku menopang hati yang telah patah, kubiarkan ia jatuh lunglai di tanah.
Eka menarik dan merengkuhku dalam pelukannya,

"biarkan aku menjagamu sebagai adikku...... lupakan laki - laki bernama Eka dalam hatimu, dan kenalilah aku sebagai perempuan yang kau kasihi sebagai kakakmu...", lanjutnya.

Aku mengangguk. Begitu banyak rahasia di dalam kehidupan ini, terkadang apa yang kita tahu bukanlah sesuatu yang nyata, justru sebuah kejujuran itu ada ketika kita menempatkan keterusterangan ditempat tertinggi, keyakinan tidak cukup, yang terpenting adalah keikhlasan menghadapi kenyataan yang ada.