chloroform
Senin, 05 Januari 2015
JANGAN MENCINTAIKU, JANGAN MENCINTAIKU!
Aku terlahir dari keluarga bahagia, ayahku seorang dosen di sebuah univesitas di kota Samarinda, tempat kami tinggal kini. Aku sudah berhasil mnyelesaikan program magisterku dengan baik, tanpa ada rintangan yang teramat sulit ku lewati.Kini aku bekerja di sebuah bank swasta dengan jabatan penting sebagai manager operational.
Umurku sekarang sudah hampir memasuki 33 tahun, dan aku telah memiliki seorang putra dari adopsi melalui sebuah panti asuhan. Putraku kini sudah memasuki sekolah taman kanak - kanak dan kami tinggal berdua dirumah yang ku beli sendiri.Aku mungkin bukan seorang wanita sholehah, tapi aku sudah memutuskan menggunakan jilbab sejak aku memasuki bangku kuliah.
"bunda, ada telpon... ". seru Petra, putraku semata wayang yang amat ku syangi.
"dari siapa sayang?" tanyaku sambil meraih telpon genggam yang ia ulurkan padaku. Ku buka mukena yang baru ku kenakan.
"nggak tau... " jawabnya menggeleng, kuraih tubuhnya dan ku dudukkan dia datas pangkuanku.
"ya, assalamualaikum" kataku membuka pembicaraan dalam telpon
"waalaikumsalam, Tiyas". jawabanya.
" maaf ini siapa?". tanyaku agak penasaran.
"ini aku, Fathur." jawabnya singkat
Aku tertegun, hatiku seperti bergemuruh mendengar nama itu. Ia adalah laki - laki bersahaja dan sederhana yamg ku kenal sebulan lalu.
"oh, darimana kau tau nomor telponku?" jawabku ketus.
Minggu, 03 Juni 2012
Aku Perempuan Yang Baik
Surani adalah namaku. Dulu aku
pernah bertanya pada ibuku tentang nama ini. Kenapa hanya Surani, bukan
Suharyani atau Suryani, atau apalah. Kenapa hanya Surani. Menurut ibu tidak
perlu semua nama itu, karena bagaimanapun nama seorang anak adalah harapan
orang tuanya.
Menurut ibuku lagi, Su artinya bagus
atau baik, Rani adalah perempuan. Jadi kalau aku pikir – pikir , mungkin ibuku
ingin aku menjadi perempuan baik – baik atau paling tidak aku bisa menjadi
perempuan yang baik. Sebuah harapan yang sederhanna aku pikir.
Ketika aku masih gadis, pacar
pertamaku, laki – laki itu, meniduriku dikamar kostnya yang sempit, pengap,
dengan aroma rokok yang membuat kepalaku pusing.tapi aku yakin bukan karena
pusing hingga aku tidak cukup sadar ketika laki – laki itu merenggut kesucianku
diantara derai tangisku. Aku membencinya dan tidak lagi mencintainya, tapi aku
tak bisa memilih lagi.
“nduk, perempuan baik – baik itu
hanya menyerahkan keperawananannya hanya pada suaminya”.
Begitulah pesan ibu padaku
ketika aku memutuskan untuk meneruskan pendidikanku dikota besar ini. Pesan seorang
ibu pada anak gadisnya karena dia menganggap aku sudah cukup dewasa untuk
memaknai arti keperawanan ku. Tapi siapalah yang tahu kalau ternyata dunia
diluar sana membuatku lebih ringan memaknai keperawananku. Toh ini sekedar
kelamin, bukan sebuah kepercayaan yang aku anut. Salahkan dunia jika aku
begini.
Maka aku melayang kenirwana
sampai kemudian aku terjerembab ke bumi dan tersadar akan artiku sesungguhnya. Aku
meratapi diriku ketika ku sadari aku tak lagi utuh. Kenapa ibu ki membuatku
berpikir bahwa aku bukan lagi perempuan baik – baik. Ma’af saja, tapi bukannya
aku anak yang tidak berbakti pada orang tua, hanya saja aku tidak bisa memenuhi
harapannya. Menjadi perempuan baik – baik tak semudah mengartikan namnaku.
Aku berhenti meratap ketika laki
– laki itu, sambil menghisap rokok dalam – dalam kemudian berkata bahwa dia
akan menikahiku. Akupun kemudian sedikit lega karena artinya dia akan menjadi
suamiku dan aku kembali akan menjadi perempuan baik – baik. Paling tidak aku
bersuami.
Setelah yang pertama itu, tentu
saja ada yang kedua dan seterusnya. Sebuah pengorbanan yang kuserahkan dengan
bayaran janji yang aku yakini benar adanya. Aku terus bersamanya, menerimanya,
menemaninya kapanpun dia menginginkan kehadiranku. Hanya tinggal menunggu waktu
saja untukku bercerita pada ibu, bahwa aku telah menemukan seseorang yang akan
menjadi menantunya. Tentu saja aku tak perlu menceritakan bagian itu. Bisa mati
berdiri ibuku.
Dan suatu sore tenang di dalam
kamar kosnya, aku mengatakan pada laki – laki itu,
“mas, aku hamil”.
Sungguh sebuah jawaban yang
kumau, bukan,
“gugurkan, aku belum siap””.
Laki – laki itu tidak pernah
menikahiku. Heran, bagaimana bisa aku percaya saja, karena saat dia mengatakan
akan menikahiku, dia tidak berusaha memeluk ku untuk sekedar menenangkan. Dia hanya
duduk di satu – satunya kursi yang ada dikamarnyaitu, menyalakan rokok dan
menghisapnya dalam – dalam. Jadi kenapa aku sampai bisa menganggapnya sungguh –
sungguh.
Lihat saja aku sekarang,
berakhir ditempat tidur klinik bersalin ini. Kamar kecil berbau steril yang
menyengat dengan sakit yang amat sangat di tubuhku, aku keguguran, bukan
menggugurkan bayi yang tumbuh di rahimku itu. Tapi rasa sakit dan nyeri itu
tidak sebanding dengan sakit hatiku saat laki – laki itu tidak juga dating menjemputku
di klinik itu hingga aku harus pulang sendiri, berharap orang – orang yang
memandang ku cukup bodoh untuk percaya beginilah caraku berjalan. Tertatih,
laki – laki itu tidak datang.
Laki – laki itu tidak ingin
menikahiku, dia hanya mengawiniku setiap kali dia ingin, dan menyalakan rokok
setiap kali selesai. Maka akupun pasrah saja bahwa aku bukan perempuan baik –
baik – baik. Tapi aku tentu perempuan yang baik, karena aku sabar menunggunya
berubah menjadi laki – laki , bukan seorang bangsat. Aku menyerahkan segalanya
dalam keterpaksaanku, aku terus bersamanya meskipun aku tak lagi mencintainya yang telah
menghancurkan hidupku , dan ya aku
bodoh.
Aku meraung di kamarku malam
itu, aku ingat saat aku menjambak – jambak rambutku bagai orang gila, aku ingat
saat aku mulai gila ingin bunuh diri, bukan karena aku masih mencintainya,
tidak. Mungkin Tuhan masih menyayangiku hingga menakdirkan bayi mungilku tak
sempat lahir kedunia ini ini, itu semua agar ia tak menanggung beban
penderitaan sebagai anak seorang laki – laki bajingan. Aku berhenti dan
bersujud memohon ampun atas segala dosa – dosa yang telah aku perbuat padahal
Tuhan begitu menyayangiku.
Dua tahun berlalu, kini aku
menjadi seorang wanita dewasa, bukan seorang gadis belia yang suka menangis
sebelum tidur. Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai seorang
sekertaris. Dan bosku , pak Rama, seorang laki – laki beraroma wangi,
berperawakan sedang dan berkulit kuning langsat yang kerap memujiku tiap kali aku mengerjakan
pekerjaanku dengan baik dan saat pagi hari saat kami baru masuk kantor
“kamu cantik sekali hari ini
Rani”
Begitu ia selalu bilang ketika
kami berhadap – hadapan dengan pandangan yang sangat menyejukkan. Aku jatuh
hati padanya, tapi bukan lantaran ucapannya lantas aku menyukainya. Dia laki –
laki yang pantas dikagumi, seorang laki – laki yang tegas, ramah dan bijaksana
dan dia memperlakukan aku dengan baik, seperti perempuan baik – baik. Dan ia bukanlah seorang laki – laki yang
tinggal dikamar kos sempit dengan bau rokok yang menyengat.
“aku mencintai kamu Rani”, seru
pak Rama suatu hari.
“ cinta?” tanyaku setengah tak
percaya. Akhirnya terucap juga.
“iya, sungguh aku mencintai kamu.
Kenapa?, kamu nggak suka?”
“bapak yakin? Saya ini…..”
“apa?”, sambungnya
“saya nggak seperti yang bapak kira…. Dan sya
nggak pantas untuk di cintai”. Aku menunduk
“aku jujur dari hatiku Ran….”
“saya sudah tidak suci lagi pak…… saya bukan
perempuan yang baik untuk bapak”.
“nggak Ran, di mataku kamu adalah perempuan
yang sangat baik”. Pak Rama mengangkat
wjahku dan kemudian mengecup keningku.
Perempuan yang baik. Alas an yang membuatku
bungah bukan kepalang. Walau tanpa alas an itupun aku pasti mau menerimanya.
“saya juga mencintai Pak Rama”, ucapku sambil
menangis.
Pak Rama memelukku.
“makasih Ran, mulai sekarang panggil mas aja ya”.
“nggak enak di denger anak – anak pak”.
“ya kalu lagi berdua dan diluar kantor donk”.
Aku mengangguk. Aku begitu bahagia, aku seperti
menemukan kembali cinta yang telah lama hilang dari hatiku. Aku begitu
mencintaiya.
Begitulah kami, dan ia menerimaku apa adanya. Kini
dengan ikhlas aku membiarkannya menikmati tubuhku, karena dia adalah orang yang
aku cintai. Bersamanya berbeda dengan masa laluku, dia memperlakukanku sangat
istimewa, yang membuatku tenggelam dalam gelombang cinta yang menderu – deru.
Malam ini aku kembali menangis, meratapi
takdirku yang begitu menyakitkan. Mas Rama telah beristri, istrinya tinggal di
Singapura dan baru dua hari yang lalu kembali ke Indonesia. Kenapa dia tega
membohongiku, dia selalu mengatas namakan cinta untuk meluluhkan hatiku. Semua orang
memandangku begitu hina, perempuan perebut suami orang. Tapi di antara derai
air mataku aku ingin membuktikan perkataan mas Rama bahwa aku perempuan yang
baik, perempuan yang sabar, perempuan yang menerima sebagai orang kedua dalam
hidupnya. Tapi tentu aku tak selalu bisa menatap cermin dan berucap,
“aku perempuan yang baik”.
Kamis, 31 Mei 2012
Perempuan Kedua
Tempat tidur ini luas, lembaran sprei merah
mudanya terasa dingin. Malam ini lagi – lagi aku masih sendiri. Aku memandang langit – langit kamar yang dibuat bertingkat
dan terlihat minimalis, ingatan ku tertuju pada kejadian siang tadi.
“Nyonya
Raditya.” Seru laki – laki paruh baya pemilik toko kue langgananku.
“ah koh Jimmy formal banget sih
manggilnya”.
“habis saya udah lama nggak
ketemu, udah 3 minggu pulang dari mertua nggak mampir – mampir ke sini”
“ah sibuk beres – beres kantor
baru koh”.
“eh perempuan itu jangan terlalu
sibuk, sering – sering dirumah aja”
“nggak bisa koh, lagian dirumah
juga mau ngapain”.
“makanya cepat – cepat buat
babby, biar rumah nggak sepi”
“maunya gitu koh Jim, tapi
gimana lagi belum dikasih rejeki sama yang diatas”.
“mau lanjut S3 lagi nih?”
“maunya gitu koh, tapi mau focus
kerumah tangga dulu lah. Dua atau tiga tahun lagi baru lanjut S3, pokoknya aku
mau pegang gelar Ph.D sebelum umurku 30 koh”
“Masih lama lah itu, kamu kan baru 23 tahun. “
“hahaha, kokoh bisa aja…”
“ahhh, kok bisa Radit punya istri terlalu
pintar seperti kamu itu, tapi kadang orang pintar itu nggak pandai memilih ya”
“maksudnya koh?”
“ya, sebenarnya kamu masih bisa bukan sekedar
jadi istri kedua, nggak makan hati kalau tiap waktu harus bagi waktu dengan
istri tua?”.
Ucapan Koh Jimmy seperti sengatan lebah di kepalaku, aku hanya tersenyum simpul.
“ini terang bulan coklat nya, ini brownies nya”.
Aku menerima dua kotak yang terbungkus kantong plastic
berlabel “Jims Cakes” itu.
“makasih yak koh Jim, mas Radit suka sekali kue
buatan kokoh”.
“ya, kembali kasih, sering – sering datang kemari
ya”.
Aku tersenyum sambil melangkah keluar toko “Jims
Cakes” ini untuk pulang kerumah.
Kata – kata Koh Jimmy terus terngiang – ngiang ditelingaku,
tapi bukankah aku sudah memilih jalan hidup seperti ini dan bukankah aku sudah
tahu konskwensi yang harus aku terima. Aku mencintai suamiku, kami menikah atas
dasar cinta, meskipun aku tahu dia sudah beristri, tapi aku tetap menyanggupi untuk
menjadi istri kedua baginya. Mertuaku
juga orang – orang yang demokratis, mereka tidak pernah membedakan antara aku
dan mbak Sahara, maduku. Walaupun awalnya mereka sempat menentang pernikahanku
dengan mas Radit, karena pertimbangan yang begitu banyak. Kesiapan mas Radit
untuk bersikap adil, kemampuan mas Radit memberikan nafkah lahir dan batin
terhadap dua istrinya dan pandangan orang sekitar terhadap laki – laki yang
berpoligami. Namun akhirnya mereka luluh dengan kekuatan cintaku dan mas Radit,
dan mbak Sahara pun membiarkan dan mengikhlaskan untuk berbagi denganku.
Sahara, aku mengenal sosoknya sebagai wanita
yang baik. Aku jarang berbicara dengannya, bahkan bertatap muka. Kami membangun rumah tangga kami sendiri –
sendiri dan tidak pernah mencampuri urusan masing – masing. Sahara terbilang
jauh lebih dewas daripada aku, dia menikah saat usianya memasuki 25 tahun, dua
tahun lebih tua dari mas Radit. Sementara aku, melangsungkan pernikahanku
dengan mas Radit setahun lalu. Dari pernikahannya, mas Radit belum mendapatkan satu
keturunan pun dari kami istri –
istrinya.
Kejadian di toko kue Kokoh Jimmy seakan mengulangi saat - saat ketika aku berkunjung kerumah orang tua ku sebulan yang lalu pada pertemuan keluarga.
"Andiiiiieeeeeeeeeeeeennn.... y Allah, tambah cantik aja kamu heeemmmhhh", seru tante Mer istri om Harmoko adik ibu sambil mencubit pipi ku.
"tante... ngagetin aja".
"mana, mana suamimu? ikut apa nggak?".Tante Mer tampak celingak celinguk dengan gayanya yang lebay.
"ikut tante."
"ooooo..... kirain sendirian, kali aja lagi di rumah istri tua gitu Ndien...".
Tante Mer menampakkan ekspresi yang tidak menyenangkan, aku mencoba tenang menghadapi wanita super cerewet itu.
"nggak tante, mas Radit sengaja ikut, ini kan acara keluarga".
"ya ampun Ndien Ndien, coba aja kamu ikutan saran tante untuk kawin sama anak temennya mas Harmoko.... atau nurutin orang tuamu, bukan malah milih jadi istri muda, sayang Ndien, Magister kok di madu", gumam tante Mer, aku menunduk, hatiku teriris mendengar ucapan - ucapannya yang menyudutkan posisiku dan terlihat sanga tidak menyukai pernikahanku dengan mas Radit. Akhirnya malam itu aku menangis keras di dada mas Radit.
Apa yang salah dengan istri kedua, poligami atau dimadu?. Kalaupun aku sarjana program S2 atau S3 sekalipun, nggak ada kata nggak pantes ketika aku memilih laki - laki yang aku cintai. kami sudah menjalaninya, mereka tidak tahu kebahagiaan kami.
Kejadian di toko kue Kokoh Jimmy seakan mengulangi saat - saat ketika aku berkunjung kerumah orang tua ku sebulan yang lalu pada pertemuan keluarga.
"Andiiiiieeeeeeeeeeeeennn.... y Allah, tambah cantik aja kamu heeemmmhhh", seru tante Mer istri om Harmoko adik ibu sambil mencubit pipi ku.
"tante... ngagetin aja".
"mana, mana suamimu? ikut apa nggak?".Tante Mer tampak celingak celinguk dengan gayanya yang lebay.
"ikut tante."
"ooooo..... kirain sendirian, kali aja lagi di rumah istri tua gitu Ndien...".
Tante Mer menampakkan ekspresi yang tidak menyenangkan, aku mencoba tenang menghadapi wanita super cerewet itu.
"nggak tante, mas Radit sengaja ikut, ini kan acara keluarga".
"ya ampun Ndien Ndien, coba aja kamu ikutan saran tante untuk kawin sama anak temennya mas Harmoko.... atau nurutin orang tuamu, bukan malah milih jadi istri muda, sayang Ndien, Magister kok di madu", gumam tante Mer, aku menunduk, hatiku teriris mendengar ucapan - ucapannya yang menyudutkan posisiku dan terlihat sanga tidak menyukai pernikahanku dengan mas Radit. Akhirnya malam itu aku menangis keras di dada mas Radit.
Apa yang salah dengan istri kedua, poligami atau dimadu?. Kalaupun aku sarjana program S2 atau S3 sekalipun, nggak ada kata nggak pantes ketika aku memilih laki - laki yang aku cintai. kami sudah menjalaninya, mereka tidak tahu kebahagiaan kami.
Seharusnya malam ini mas Radit pulang kerumahku, sejak seminggu lalu dia di
Purwokerto. Disana mbak Sahara tinggal bersama ibunya, mas Radit menemuinya
setiap seminggu sekali. aku semakin gelisah, aku sedikit merasa terabaikan. kalau malam ini mas Radit tak pulang, apakah mungkin ia lebih mencintai mbak Sahara dibanding aku.
Aku bangkit, jam dinding menunjukkan pukul
11.23 malam. Aku duduk dikursi ruang makan kami. Di meja masih utuh terang bulan
dan brownies serta beberapa tusuk sate kambing kesukaan suamiku. Aku sengaja
menyiapkannya untuk menyambut kedatangannya malam ini. Sudah setahun ini, mas
Radit tetap selalu adil dimataku. Ia selalu tepat membagi waktu, dan kami pun
tak pernah bertengkar dalam rumah tangga. Aku menunggunya dengan perasaan tak menentu, sedikit cemburu mulai muncul dalam hatiku, aku memang perempuan kedua dalam hidupnya, dan inilah konsekwensi seorang perempuan kedua.
Tiiinnn….tiiinnn....
Suara klakson mobil suamiku membuatku bergegas
menyongsongnya, hatiku amat bahagia, kegelisahan ku terbayar oleh
kedatangannya.
Kubuka pagar besi dan kutunggu pria yang paling
kucintai itu memarkir mobil dan keluar menemuiku. Ia terlihat sangat tampan,
seperti itulah ia dimataku. Senyumnya mengembang lebar mengiringi derap
langkahnya.
“hai sayang….apa kabar?”. sapanya. Aku tersenyum,
di ciumnya keningku, semua sikapnya membuat diriku melayang – layang dalam
keagungan cinta.
‘baik, mas gimana?”
“ya seperti ini, ayo masuk…. Katanya ada sate kambing,
udah laper nih.”
Kami beriringan masuk rumah, aku segera
menyiapkan makanan dan kami akan segera melepas rindu malam ini.
Aku melepaskan jaket dan sepatu mas Radt sebelum ia makan. ia tersenyum manis. senyum tulus yang selalu tampak menggoda siapapun yang melihatnya.
"I love you my wife "
"I love you too my husband"
kami menikmati makan malam sambil bercerita banyak hal dan sering di iringi candaan lucu mas Radit yang memang suka ngebanyol. senangnya bisa tertawa lepas seperti ini. tapi kadang aku bertanya sendiri, apakah ini nyata, ini seperti too good to be true.
Aku melepaskan jaket dan sepatu mas Radt sebelum ia makan. ia tersenyum manis. senyum tulus yang selalu tampak menggoda siapapun yang melihatnya.
"I love you my wife "
"I love you too my husband"
kami menikmati makan malam sambil bercerita banyak hal dan sering di iringi candaan lucu mas Radit yang memang suka ngebanyol. senangnya bisa tertawa lepas seperti ini. tapi kadang aku bertanya sendiri, apakah ini nyata, ini seperti too good to be true.
“hmmmm, kenyang banget sayang…. Makasih istriku
yang canntik ini…”,
Mas Radit mencubit pipiku lembut, aku
memandangnya tanpa berkedip. Aku merasa bahgia seperti ini, bersamanya, aku
yakin dia memang jodohku. Aku bangga
menjadi isrinya, aku taka pa membaginya, dan aku sangat mencintainya.
Dering lagu Bruno mars terdengar di handphone
ku, segera kubuka satu pesan diterima disana.
1 message received from Karina:
Andien daripada kamu menerderita, daripda jadi istri kedua yang nyiksa batin terus. mending kamu minta cerai dan cari pendamping yang baru. Kamu itu cantik, pintar, magister pula.... ayolah Ndien, msih banyak kehidupan yang pantas buat kamu...
Aku tersenyum,dan dengan keteguhan hati aku
segera membalas pesan dari sahabatku itu.
Sorry Karin…. Aku sayang banget sama suamiku,dan
aku nggak peduli apapun keadaannya, cinta sejati tidak harus dia selalu di samping kita dan utuh kita miliki, tapi bagaimana kita membangun sesuatu yang baik dalam rumah tangga dan kehidupan.
Massege delivered……
Mas Radit memandangku, kami berdua tersenyum, aku akan menjaga semua yang diberikan suamiku untukkehidupanku.
Jumat, 18 Mei 2012
jangan ucapkan selamat tinggal !
Bunga – bunga bougenvil berceceran
ditanah, ku pijakkan kaki ku diantaranya, ku hitung langkah – langkahku dan aku
berusaha tak menginjak satupun bunga – bunga yang telah gugur itu. Ujung
kerudung hitam ku berayun – ayun dibahuku, angin yang basah membias dwajah ku,
ku biarkan ia mendinginkan kedua mataku. Bau tanah basah menyeruak, tapi harum
melati masih menutupinya, bunga putih itu seperti seseorang yang mencintai yang
tidak pernah membenci walau luka sedalam apapun menderanya.
Aku menatap jauh langit yang mungkin
bisa kujadikan kanvas untuk melukiskan
wajahnya, dan ketika ku kerjapkan mataku, ada guliran air menetes dan turun
dipipiku. Kedua lututku terpuruk ditanah, aku menangis keras dan terduduk
diantara gerimis yang mulai menetes satu – satu. Tubuhku lemas, bibirku
bergetar hebat dan sekejap aku terkulai di tanah.
“Dini…..!”, teriak laki – laki
tinggi tegap yang muncul dan berlari menemuiku yang hanya bisa mendengar samar
suaranya. Ia meraihku dalam pelukannya. Air mata ku masih saja deras namun hanya
tersisa sesenggukan yang masih menarik – narik saluran pernapasan yang menghubung dengan
diafragma, berpotongan dengan pembuluh darah vena yang masuk ke jantung, hingga
terasa amat sesak. Beberapa detik ia
menatapku, aku merasakan getar kekhawatirannya terhadapku. Dengan sigap
dibopongnya aku, nafasnya tersengal – sengal menahan tubuhku dikedua tangannya.
Ia menidurkanku di sofa ruang tamu.
Sentuhannya tak ada yang menyamai
didunia ini, dalam separuh kesadaranku, hatiku terus bergemuruh menahan rasa sakit
dan cinta yang membuat ku terlalu mengagungkannya. Ku buka mataku mengikuti
detik waktu hingga wajahnya jelas terlihat dimataku. Lelaki terbaikku itu
mengusap sisa – sisa air mataku dengan jarinya. Kami tak menciptakan satupun
kata, hanya mata yang mengisyaratkan rasa cinta yang ada dihati masing –
masing. Aku menyadari seberapa banyak waktu yang tersisa untuk ku bisa
bersamanya, aku mungkin bukan orang yang kuat untuk menghadapi semua itu.
Seharusnya aku menghargai tiap detik
yang berjalan, menjadikannya tak sia – sia. Tangan kami sudah saling mengenggam
ketika kami sama – sama terbangun dari renungan.Ia menarik tubuhku dalam
dekapannya, aku merengkuhnya dan menyembunyikan sebagian wajahku dibahunya, ku
pejamkan mataku merasakan degup jantungnya.
“kamu tau kalau aku sayang sama kamu
Dik, jangan seperti ini”, suaranya terdengar berat dan parau. Aku masih diam,
ku hirup nafas ku sangat dalam, aroma tubuhnya yang wangi merasuki aliran
darahku.
“aku selalu ada disamping kamu dik…..
aku nggak meninggalkan kamu….”, lanjutnya, suaranya bertambah sendu, kurasakan
tarikan putus – putus di antara nafasnya, ia menangis.
Aku melepaskan pelukan itu, ku tatap
dirinya yang bertambah tulus dihadapanku. Matanya memerah, hatiku terenyuh
melihat sikapnya. Aku tak pernah menyalahkannya untuk semua kenyataan ini dan
aku tak pernah membencinya karena ada
sebuah kekuatan yaitu kami saling mencintai. Ku sunggingkan senyuman samar agar
aku terlihat telah baik – baik saja.
“ma’afin aku ya…….”, ucapku pelan
tapi kupastikan ia masih bisa mendengarnya.
“aku banyak salah sama kamu Dik,
harusnya aku yang minta ma’af….”
“harusnya aku nggak seperti ini Mas,
harusnya aku bersyukur kamu masih peduli sama aku…..”. seruku seperti orang
yang berhati besar. Ia mendekatkan bibirnya untuk mencium keningku
“kamu tetap yang terindah dalam
hidupku Dik…..”, ucapnya, deretan kata itu seperti bongkahan es yang
mendinginkan ku. Aku luluh dalam lingkaran kedua tangannya.
Diluar hujan mulai turun, bukan lagi
gerimis kecil – kecil. Aku sadar, tempatku sudah di tentukan. Aku tak akan
menuntut lebih dari ini, cukup bagiku dia ada di dekatku dan masih mencintaiku.
Aku abaikan seluruh rasa sakit dan kubangun sikap menerima dengan lapang apapun
yang diberikan Tuhan kepadaku.
“aku sudah tunangan Dik…”, ucap lelaki
berhidung mancung itu beberapa waktu lalu, sekitar sebulan lalu. Saat itu kami
menghabiskan waktu bersama, tak ada masalh, tapi ia mengungkapkan kejujuran
yang justru membuat hatiku hancur dan robek begitu dalam. Aku diam, kami saling
berpandangan. Hatiku seperti mati rasa,
mungkin karena terlalu sakit. Pita suaraku seperti terkunci, tak mampu
mengeluarkan sepatah katapun, bisu.
“ma’afkan aku Dik …. Tapi aku harus
jujur, aku nggak mungkin membohongimu terus menerus….”, jelasnya, satu sayatan
lagi pada hatiku. Aku masih diam, bumi seakan berayun – ayun dan membuat
tubuhku seperti tak bertulang. Ia menarikku kedadanya, disitulah tangisku
tumpah tak terbendung lagi.
Aku tak bisa memarahinya atas semua
yang telah dilakukannya terhadapku, aku tak mungkin mencaci maki dan
membalasnya dengan kata – kata yang menyakitkan hatinya. Aku telah
mencintainya, begitu mencintainya. Ia datang dan meyakinkanku atas rasa cinta
dan keinginannya bersamaku dan aku menerimanya. Aku tak bisa menuntutnya tak seperti
itu karena kenyataannya memang seperti
itu. Dalam waktu yang singkat aku belajar
menghargai sebuah kejujuran.
“kenapa kamu membohongiku selama ini
mas Doni…..”, ratapku.
“ma’af Dik, tapi aku benar – benar sayang
kamu…”, serunya dengan sedikit tekanan.
“aku juga sangat sayang sama mas…………”
“kenapa kamu nggak marah…. Tampar saja
wajhku dik, aku pantas menerimanya… “ katanya sambil memegangi kedua pipiku,
aku menggeleng.
“apa kamu juga mencintainya mas?”,
tanyaku dengan suara yang kubuat sangat halus. Ia mengangguk.
“aku mencintainya dik, kami
berhubungan sejak 4 tahun lalu…’, jawabnya. Hatiku terasa semakin perih.
“aku nggak bisa hidup tanpa kamu mas…..”.
Aku menubruknya, ku peluk erat
dirinya. Entah kenapa aku begitu takut ia mengucapkan selamat tinggal padaku. Aku
tak banyak memikirkan wanita itu, aku juga tak memikirkan bagaimana agar Mas
Doni kumiliki seutuhnya.
Aku sadar seperti apa diriku, ini
memang sesuatu yang sudah pantas untukku, tidak bisa lebih dari ini, ini yang
paling baik. Bersyukur itu sulit ketika kita harus menanamkan rasa sabar dan
keikhlasan, aku bersyukur tapi hatiku selalu merasa sakit. Banyak cara
mensyukuri keadaan yang kita terima, aku bersyukur dengan tidak meminta lebih
dari ini.
Aku telah mengenal wanita itu dari
foto – fotonya, dia cantik. Dia wanita yang sangat beruntung. Mas Doni sangat
mencintainya, mungkin dia bukan lelaki setia, tapi ia tak pernah meninggalkannya,
dan itu adalah sebuah keberuntungan, aku sangat berharap ia bisa bersyukur
seperti aku.
Aku dan lelaki bermata elang itu masih duduk
bersisian, kepalaku menempel pada pundaknya. Aku tak ingin memilikinya, tapi
aku sangat takut kehilangannya. Gemuruh di dadaku masih belum reda, tak mudah
menjadi aku.
“mas kemana satu minggu ini?”,
tanyaku setelah lama terdiam.
“aku sedang ingin sendiri Dik….. ma’af
membuat kamu seperti ini menunggu aku.”, jawabnya dengan suara basnya yang
terdengar amat sejuk.
“aku takut kehilangan kamu mas,
jangan tinggalin aku….”.
“sampai kapan kita akan seperti ini
Dik?”.
Pertanyaannya membuat ku memalingkan
pandangan ke wajahnya, matanya memancarkan rasa bimbang.
“sampai aku mati mas….”. ucapku
pasti.
“jangan bicara seperti itu Dik, aku
nggak suka kamu ngomong seakan – akan kamu mau mati, jangan buat aku takut….”.
suaranya meninggi.
“aku nggak bisa hidup tanpa kamu
mas, kalaupun kita harus berpisah, aku nggak mau kalau aku yang ditinggalkan,
biar aku saja yang pergi pada saatnya nanti….”.
“jangan putus asa seperti itu Dik,
kamu harus mengerti posisiku, aku sudah tunangan dan harus menikahinya, aku
nggak tega menyakiti dia”.
“aku nggak meminta mas menyakiti
atau meninggalkan dia, aku ngerti mas harus menikahi dia, aku tau aku disini
siapa…. Aku….”.
Aku terhenti, ia menempelkan
telunjuknya kebibirku. Di pegangnya sebelah pipiku, aku diam merasakan nafasnya
yang berhembus diwajahku.
“jangan menangis lagi, mas nggak
akan meninggalkan siapa – siapa….”. serunya.
Kalimatnya seakan menjadi penahan
rasa sakit pada luka – luka dihatiku, aku sangat bahagia. Ku cium sebelah
pipinya, ia tersenyum amat manis.
Lewat jendela terlihat gambar
pelangi dilangit ujung sana, begitu indah. Tujuh warnanya bersisian dan tak
saling berselisih, aku yakin kami pun bisa seperti itu walaupun berada di
tempat yang sama. Merah lebih terang daripada hijau…. tapi hijau masih punya
tempat disisi kuning sama seperti merah. Dan biarlah hari ini kuning dan hijau
bersatu diantara senja yang singkat dan hilang saat tiba malam. Dan aku hanya
meminta waktu senja saja untuk bersamanya, masih ada waktu malam, siang, pagi
dan sore untuk ia kembali. Aku sangat mensyukuri senja yang kumiliki dan aku
berjanji takkn mengambil lebih dari ini.
Senin, 02 April 2012
Sunday...............
Today and everyday, I stand up with happiness ......
Tuhan selalu memiliki rahasia terindah yang di simpannya sebagai anugerah terindah pula untuk seorang manusia, siapaun yang menjauhi rasa benci pasti pun akan di dekatkan dengan anugerahNya. Dia juga memberikan rasa, kemampuan untuk mengingat dan melupakan, kemampuan untuk berfikir dan menjalani sebuah kehidupan.
Ketika itu aku duduk di bangku panjang ruang tunggu stasiun kota, rasanya sudah cukup aku menangis dan membiarkan diriku dijajah rasa sakit dan kecewa. I must not give up, semua yang terjadi tak pantas untuk ku sesali atau aku ungkit lagi sebagai sebuah kesalahan yang begitu menyakitiku. Sementara aku putuskan untuk meninggalkan Malang, aku hanya ingin pergi dan menata kehidupanku lagi untuk beberapa waktu. walaupun berat dan sakit, bagaimanapun aku memang harus melepaskan Nizam untuk menikah dengan wanita lain pilihan orang tuanya.
Hari itu hari minggu, 12 april, tepat dimana Nizam melangsungkan pernikahannya. Aku telah memastikan bahwa aku tidak akan hadir di sana, aku ingin pergi jauh dari kehidupannya mulai hari itu. Berbekal setitik ketegaran aku ingin membuka lembaran baru dan hidup kembali di kehidupan yang lain, dengan ini aku pasti akan mampu menghapus dan melupakan rasa benci di dalam hatiku.
Kereta menuju Banyuwangi baru akan datang setengah jam lagi, stasiun tidak begitu ramai meskipun hari itu adalah hari minggu. Tas besarku tetap ku letakkan dipangkuanku, hanya itu yang ku bawa untuk waktu yang belum ku tentukan berapa lama untuk pergi. Sesaat, seorang laki - laki dengan sebungkus roti yang di lahapnya sejak tadi menjajariku duduk, penampilannya cukup menarik, tapi aku merasa risih dengan gayanya yang slenge'an. Ia memandangku dan menyodorkan roti yang telah di gigitnya, aku menggeleng. Ku geser letak dudukku lebih jauh darinya, ia tersenyum.
" mbak merasa terganggu?", tanyanya. Aku tak merespon.
" kalau iya saya pergi aja", lanjutnya sambil beringsut dari duduknya.
" nggak usah...", larangku, ia menoleh kerahku dan membatalkan niatnya untuk pergi. Ia kembali tersenyum, aku salah tingkah.
"mbak mau kemana?".tanyanya lagi masih dengan mulut yang sibuk mengunyah roti.
"Banyuwangi", jawab ku sambil sedikit mengulas senyum untuknya. Ia mengernyitkan dahi sejenak dan kemudian mengangguk - anggukkan kepalanya.
Ia menggodaku dengan menatapku lekat - lekat, aku semakin salah tingkah.
"mbak cantik ya", serunya. Aku memandangnya tak enak.
"saya foto boleh nggak, saya wartawan lo, nanti biar saya masukin ke majalah saya", lanjutnya sambil mengarahkan kamera yang tergantung dilehernya ke arhaku, aku memalingkan badanku dan menutupi sebagian wajahku dengan jilbabku. Ia masih tersenyum dan membatalkan usahanya mengambil gambarku.
"okey", katanya.
Aku sedikit kisruh dengan caranya memperlakukanku.
"mbak kenapa terlihat tegang? apa saya aneh?", tanyanya lagi. Aku diam, laki - laki ini begitu misterius.
"anggap saja saya ini teman lama, karena kita bertemu cuma sekali ini saja", lanjutnya sedikit mendramatisir.
"mengapa mas bicara seperti itu?, bukankah sekarang dunia seakan sempit, jarak bisa di paksa oleh waktu mas...", balasku, ku tatap ramah wajahnya yang memang cukup tampan .
"mbak pantas bicara seperti itu, tapi perasaan tidak bisa dimainkan".
"maksudnya?" tanyaku heran. Dia menggesr letak duduknya menghadap kearahku.
"dari awal saya duduk disini, saya sudah terkesan dengan mbak, saya terkesan dengan wewangian yang mbak kenakan, saya terkesan dengan dua mata indah di bawah alis tebal, saya terkesan dengan wajah mbak yang merona", ucapnya yang sedikit terkesan gombal. Tapi entah mengapa hatiku seperti diberi angin dari tiap kata - kata dan senyum yang selalu mengembang dibibirnya.
"lalu?", tanyaku.
"justru itu saya tidak ingin berkenlan", katanya, aku sedikit terkejut, dia semakin membuatku penasaran. Refleks ku ulurkan tangan kearahnya.
"Sora", ku sebutkan namanku, dia malah tersenyum, tak disambutnya uluran tanganku, aku semakin heran.
Diangkatnya tangan kanannya dan menggoyangkan sebagai penolakan,ia masih tersenyum.
"nama mas siapa?", tanyaku..
"kalau kita saling kenal dan tidak lagi bertemu itu hanya menyisakan bayangan".
"mengapa kita tidak berusaha mengenal untuk berusaha bertemu", kataku dengan harapan dari hatiku.
"karena pertemuan pertama menyisakan rasa penasaran, dan pertemuan kedua akan menyisakan rasa rindu. Dan saya tidak mau merindu", jelasnya tegas.
"maksudnya", aku semakin tak mengerti.
"biar takdir yang mempertemukan kita, saya akan mengingat wajah mbak, kalaupun mbak tidak ingat wajah saya, yang penting saya mengingat nama SORA"
"semoga kita bisa bertemu lagi".
"semoga Allah memberikan yang terbaik buat kita".
"maksudnya???",aku sulit mencerna kata- katanya yang terlalu dilematis
Tiba- tiba suara kereta jurusan Banyuwangi terdengar memasuki stasiun.
"keretanya datang" serunya.
Aku mencari arah suara kereta, benar saja, kereta buatan tahun 90 an itu sudah nampak mendekat. Ku tolehkan pandanganku kerarah lelaki misterius itu, tapi dia sudah tak ada disana.
Banyak hal penting yang aku temui di hari minggu, hari itu mulai terpikir sebagai hari bersejarah dalam perjalannan hidupku. Jika ada orang yang bertanya tentang "When the special moment in your life?"", aku akan menjawab "On sunday".......
Semua tidak berakhir sampai disitu, Inilah yang ku maksud sebagai rahasia dan anugerah terindah Tuahan, seminggu di banyuwangi, aku menemukan lelaki misterius itu lagi. Aku benar - benar tak menduga bahwa dia adalah seorang ustad di daerah tempat kakek ku tinggal, tempat yang kini ku jadikan tempat reinkarnasi diri.
Aku pun tau, namanya Haikal, aku melihatnya mengimami shalt isya dimasjid. Entah kenapa aku sangat tergerak untuk selalu melihatnya, ada kekaguman tersendiri dalam hatiku terhadapnya. Usai shalat, pertemuan kedua itupun tidak bisa dihindari, aku tersenyum dari kejauhan, ku lihat dia menatapku dengan wajah yang nampak sangat terkejut dan seakan tak menyangka. Aku berdiri menunggu dirinya yang perlahan menghampiriku, senyumnya kembali ku lihat mengembang ketika ia telah berada dihadapanku
"assalamualaikum", ucapnya.
"wa'alaikumsalam", jawabku dengan senyum termanisku.
"hai Haikal..", lanjutku, ia nampak semakin terkejut.
"dariman kamu tahu nama saya Haikal?".
"siapa yang tidak mengenal nama Haika di daerah inil".
"kenapa kamu ada disini", tanya Haikal dengan bianar mata penuh kebahagiaan.
"karena takdir mempertemukan kita", jawabku pasti. Ia masih tersenyum.
"aku cucunya pak Lukman", lanjutku.
Haikal mengangguk - angguk.
"aku pamit pulang dulu.... assalamualaikum", seruku menucap salam.
"wa'alaikumsalam".
Itu terjadi bertepatan seminggu setelah pertemuan kami di stasiun, tentunya juga hari minggu. mungkin hari minggu adalah hari yang diciptakan Allah sebagai hari kami, hariku dan suamiku, Haikal. Moment spesial yang paling penting juga tak dapat di rencanakan dan dirancang disaat semuanya telah ditetapkan Allah untuk terjadi, tepat hari minggu 20 Mei, Haikal melamarku.
"sudah beberapa hari ini aku tidak mendengarkanmu tadarus?", tanyanya saat datang kerumahku.
"aku belum lancar membaca Al qur'an", jawabku.
"nannti aku ajarkan".
"aku tidak punya Al qur'an".
"nanti kuberikan milikku untukmu".
kamu serius?".
Haikal mengangguk, sesaat kami terdiam. Kami saling berpandangan.
"ada satu hal lagi yang ingin ku sampaikan", serunya, wjahnya terlihat serius.
"apa itu Kal?".
"aku menemukan hatiku dalam dirimu".serunya, aku tersipu.
"kalu boleh aku tau, seberapa dalm kau melihatnya?".
"aku tidak bisa melihatnya Sora".
"kenapa?".
"karena terlalu dalam, yang ada hanya ketulusan cinta yang kini hidup di dasar hatimu". seru Haikal, aku tersipu.
"maukah kau menikah denganku?", lanjutnya. Hatiku serasa sangat dingin, air mata haruku merebak dikedua mataku, aku benar - benar merasa sangat beruntung. Dengan pasti, kuanggukkan kepalaku, kami tersenyum bahagia.
"Kal, aku berjanji........ aku akan menjaga kebahagiaan yang telah kamu berikan dalam hidupku". ucapku penuh rasa syukur. Thanks God, You have given me the best day, SUNDAY........
Tuhan selalu memiliki rahasia terindah yang di simpannya sebagai anugerah terindah pula untuk seorang manusia, siapaun yang menjauhi rasa benci pasti pun akan di dekatkan dengan anugerahNya. Dia juga memberikan rasa, kemampuan untuk mengingat dan melupakan, kemampuan untuk berfikir dan menjalani sebuah kehidupan.
Ketika itu aku duduk di bangku panjang ruang tunggu stasiun kota, rasanya sudah cukup aku menangis dan membiarkan diriku dijajah rasa sakit dan kecewa. I must not give up, semua yang terjadi tak pantas untuk ku sesali atau aku ungkit lagi sebagai sebuah kesalahan yang begitu menyakitiku. Sementara aku putuskan untuk meninggalkan Malang, aku hanya ingin pergi dan menata kehidupanku lagi untuk beberapa waktu. walaupun berat dan sakit, bagaimanapun aku memang harus melepaskan Nizam untuk menikah dengan wanita lain pilihan orang tuanya.
Hari itu hari minggu, 12 april, tepat dimana Nizam melangsungkan pernikahannya. Aku telah memastikan bahwa aku tidak akan hadir di sana, aku ingin pergi jauh dari kehidupannya mulai hari itu. Berbekal setitik ketegaran aku ingin membuka lembaran baru dan hidup kembali di kehidupan yang lain, dengan ini aku pasti akan mampu menghapus dan melupakan rasa benci di dalam hatiku.
Kereta menuju Banyuwangi baru akan datang setengah jam lagi, stasiun tidak begitu ramai meskipun hari itu adalah hari minggu. Tas besarku tetap ku letakkan dipangkuanku, hanya itu yang ku bawa untuk waktu yang belum ku tentukan berapa lama untuk pergi. Sesaat, seorang laki - laki dengan sebungkus roti yang di lahapnya sejak tadi menjajariku duduk, penampilannya cukup menarik, tapi aku merasa risih dengan gayanya yang slenge'an. Ia memandangku dan menyodorkan roti yang telah di gigitnya, aku menggeleng. Ku geser letak dudukku lebih jauh darinya, ia tersenyum.
" mbak merasa terganggu?", tanyanya. Aku tak merespon.
" kalau iya saya pergi aja", lanjutnya sambil beringsut dari duduknya.
" nggak usah...", larangku, ia menoleh kerahku dan membatalkan niatnya untuk pergi. Ia kembali tersenyum, aku salah tingkah.
"mbak mau kemana?".tanyanya lagi masih dengan mulut yang sibuk mengunyah roti.
"Banyuwangi", jawab ku sambil sedikit mengulas senyum untuknya. Ia mengernyitkan dahi sejenak dan kemudian mengangguk - anggukkan kepalanya.
Ia menggodaku dengan menatapku lekat - lekat, aku semakin salah tingkah.
"mbak cantik ya", serunya. Aku memandangnya tak enak.
"saya foto boleh nggak, saya wartawan lo, nanti biar saya masukin ke majalah saya", lanjutnya sambil mengarahkan kamera yang tergantung dilehernya ke arhaku, aku memalingkan badanku dan menutupi sebagian wajahku dengan jilbabku. Ia masih tersenyum dan membatalkan usahanya mengambil gambarku.
"okey", katanya.
Aku sedikit kisruh dengan caranya memperlakukanku.
"mbak kenapa terlihat tegang? apa saya aneh?", tanyanya lagi. Aku diam, laki - laki ini begitu misterius.
"anggap saja saya ini teman lama, karena kita bertemu cuma sekali ini saja", lanjutnya sedikit mendramatisir.
"mengapa mas bicara seperti itu?, bukankah sekarang dunia seakan sempit, jarak bisa di paksa oleh waktu mas...", balasku, ku tatap ramah wajahnya yang memang cukup tampan .
"mbak pantas bicara seperti itu, tapi perasaan tidak bisa dimainkan".
"maksudnya?" tanyaku heran. Dia menggesr letak duduknya menghadap kearahku.
"dari awal saya duduk disini, saya sudah terkesan dengan mbak, saya terkesan dengan wewangian yang mbak kenakan, saya terkesan dengan dua mata indah di bawah alis tebal, saya terkesan dengan wajah mbak yang merona", ucapnya yang sedikit terkesan gombal. Tapi entah mengapa hatiku seperti diberi angin dari tiap kata - kata dan senyum yang selalu mengembang dibibirnya.
"lalu?", tanyaku.
"justru itu saya tidak ingin berkenlan", katanya, aku sedikit terkejut, dia semakin membuatku penasaran. Refleks ku ulurkan tangan kearahnya.
"Sora", ku sebutkan namanku, dia malah tersenyum, tak disambutnya uluran tanganku, aku semakin heran.
Diangkatnya tangan kanannya dan menggoyangkan sebagai penolakan,ia masih tersenyum.
"nama mas siapa?", tanyaku..
"kalau kita saling kenal dan tidak lagi bertemu itu hanya menyisakan bayangan".
"mengapa kita tidak berusaha mengenal untuk berusaha bertemu", kataku dengan harapan dari hatiku.
"karena pertemuan pertama menyisakan rasa penasaran, dan pertemuan kedua akan menyisakan rasa rindu. Dan saya tidak mau merindu", jelasnya tegas.
"maksudnya", aku semakin tak mengerti.
"biar takdir yang mempertemukan kita, saya akan mengingat wajah mbak, kalaupun mbak tidak ingat wajah saya, yang penting saya mengingat nama SORA"
"semoga kita bisa bertemu lagi".
"semoga Allah memberikan yang terbaik buat kita".
"maksudnya???",aku sulit mencerna kata- katanya yang terlalu dilematis
Tiba- tiba suara kereta jurusan Banyuwangi terdengar memasuki stasiun.
"keretanya datang" serunya.
Aku mencari arah suara kereta, benar saja, kereta buatan tahun 90 an itu sudah nampak mendekat. Ku tolehkan pandanganku kerarah lelaki misterius itu, tapi dia sudah tak ada disana.
Banyak hal penting yang aku temui di hari minggu, hari itu mulai terpikir sebagai hari bersejarah dalam perjalannan hidupku. Jika ada orang yang bertanya tentang "When the special moment in your life?"", aku akan menjawab "On sunday".......
Semua tidak berakhir sampai disitu, Inilah yang ku maksud sebagai rahasia dan anugerah terindah Tuahan, seminggu di banyuwangi, aku menemukan lelaki misterius itu lagi. Aku benar - benar tak menduga bahwa dia adalah seorang ustad di daerah tempat kakek ku tinggal, tempat yang kini ku jadikan tempat reinkarnasi diri.
Aku pun tau, namanya Haikal, aku melihatnya mengimami shalt isya dimasjid. Entah kenapa aku sangat tergerak untuk selalu melihatnya, ada kekaguman tersendiri dalam hatiku terhadapnya. Usai shalat, pertemuan kedua itupun tidak bisa dihindari, aku tersenyum dari kejauhan, ku lihat dia menatapku dengan wajah yang nampak sangat terkejut dan seakan tak menyangka. Aku berdiri menunggu dirinya yang perlahan menghampiriku, senyumnya kembali ku lihat mengembang ketika ia telah berada dihadapanku
"assalamualaikum", ucapnya.
"wa'alaikumsalam", jawabku dengan senyum termanisku.
"hai Haikal..", lanjutku, ia nampak semakin terkejut.
"dariman kamu tahu nama saya Haikal?".
"siapa yang tidak mengenal nama Haika di daerah inil".
"kenapa kamu ada disini", tanya Haikal dengan bianar mata penuh kebahagiaan.
"karena takdir mempertemukan kita", jawabku pasti. Ia masih tersenyum.
"aku cucunya pak Lukman", lanjutku.
Haikal mengangguk - angguk.
"aku pamit pulang dulu.... assalamualaikum", seruku menucap salam.
"wa'alaikumsalam".
Itu terjadi bertepatan seminggu setelah pertemuan kami di stasiun, tentunya juga hari minggu. mungkin hari minggu adalah hari yang diciptakan Allah sebagai hari kami, hariku dan suamiku, Haikal. Moment spesial yang paling penting juga tak dapat di rencanakan dan dirancang disaat semuanya telah ditetapkan Allah untuk terjadi, tepat hari minggu 20 Mei, Haikal melamarku.
"sudah beberapa hari ini aku tidak mendengarkanmu tadarus?", tanyanya saat datang kerumahku.
"aku belum lancar membaca Al qur'an", jawabku.
"nannti aku ajarkan".
"aku tidak punya Al qur'an".
"nanti kuberikan milikku untukmu".
kamu serius?".
Haikal mengangguk, sesaat kami terdiam. Kami saling berpandangan.
"ada satu hal lagi yang ingin ku sampaikan", serunya, wjahnya terlihat serius.
"apa itu Kal?".
"aku menemukan hatiku dalam dirimu".serunya, aku tersipu.
"kalu boleh aku tau, seberapa dalm kau melihatnya?".
"aku tidak bisa melihatnya Sora".
"kenapa?".
"karena terlalu dalam, yang ada hanya ketulusan cinta yang kini hidup di dasar hatimu". seru Haikal, aku tersipu.
"maukah kau menikah denganku?", lanjutnya. Hatiku serasa sangat dingin, air mata haruku merebak dikedua mataku, aku benar - benar merasa sangat beruntung. Dengan pasti, kuanggukkan kepalaku, kami tersenyum bahagia.
"Kal, aku berjanji........ aku akan menjaga kebahagiaan yang telah kamu berikan dalam hidupku". ucapku penuh rasa syukur. Thanks God, You have given me the best day, SUNDAY........
Senin, 26 Maret 2012
Ketika Hati Bicara Rasa
Mendung
masih menggantung dilangit, rintik – rintik hujan terlihat menetes kecil –
kecil. Pemakaman telah usai beberapa jam lalu, rumah nomor 42 itu mulai
terlihat lengang, hanya ada beberapa anggota keluarga dan tetangga dekat yang
tinggal. Gadis kecil berumur 9 tahun itu telah tiada, foto dengan frame besar
masih terpajang diruang tamu sebagai pengenang raut wajah polosnya. Maya,
ibunya, terduduk dilantai beralas permadani, menyandarkan punggungnya di
dinding dengan pandangan kosong, matanya sembab, hanya tinggal sisa – sisa air
mata ditepian matanya. Ia wanita yang tegar, hatinya ikhlas merelakan putri kecilnya pergi untuk selamanya.
Bagi
seorang ibu, anak adalah separuh kehidupannya. Begitu pulalah yang di rasakan
Maya, Hanisa adalah hartanya yang paling berharga di dunia ini. Ia membesarkan
Hanisa sendirian, segala kepedihan, kesusahan dan perjuangan telah di lewatinya
tanpa orang – orang yang seharusnya bersamanya.
Seorang
laki – laki berwajah cukup tampan di usianya yang mungkin sudah kepala tiga dan tampak sangat
berwibawa menghampiri ibu yang baru saja kehilangan putrinya itu. Di sentuhnya
bahu Maya, ada wajah penuh penyesalan yang memancar diantara dua matanya yang
iba menatap Maya, ia adalah Muhammad
Prayoga, seorang Gubernur yang dikenal sangat peduli dengan masyarakat
daerahnya.
“ma’afkan
aku May……… “, ucap pria terhormat itu lirih.
Maya tak
merespon, air matanya malah kembali mengalir dari matanya yang besar dan indah. Hatinya beku, laki – laki yang
kini di sampingnya telah lama dianggapnya tak pernah ada, dia telah lama mati
dalam hati Maya. 9 tahun bukanlah waktu yang singkat dan bukan saat yang mudah
bagi wanita yang harus menanggung beban seorang diri dengan beribu cercaan dan
makian dari orang – orang di sekelilingnya, luka telah membuat hati seorang
wanita mengeras bahkan untuk permintaan
ma’af yang sangat tulus sekalipun.
Pak
gubernur yang lebih suka dipanggil dengan nama kecilnya sebagai Yoga itu
menunduk , dihelanya nafas panjang beberapa kali, Maya tak juga bergeming.
Betapapun wanita malang didekatnya itu adalah wanita yang amat di cintainya. Telah
lama ia menanti saat ketika tangannya bisa menyentuh kembali tubuh wanita luar
biasa yang tak pernah lekang di hatinya itu, cintanya selalu terjaga hanya
untuk anggrek bulan yang lama hilang dari hidupnya. Kini kembang itu kembali,
tapi ia telah berubah menjadi putri malu berduri yang menutup rapat – rapat dirinya
saat tersentuh lagi oleh tangannya meskipun itu dengan kesungguhan yang
terdalam dari hatinya. Maya masih seperti 9 tahun yang lalu, teguh, kuat dan keras
hati, yang berbeda kini…. Yoga tak bisa menyentuh hatinya lagi.
“Anak itu
titipan May, sudah seharusnya kita merelakannya dengan ikhlas…..”, lanjut Yoga
dengan rentetan kata bernada halus dari bibirnya.
“tau apa
kamu tentang ikhlas dan arti seorang anak bagi orang tua yang membesarkannya…”,
respon Maya dingin. Yoga memandangnya dalam, hatinya berkecamuk, ia mungkin
laki – laki paling nista di hadapan Maya.
“aku tau
May, tapi Halisa adalah anak kita……. “,jawab Yoga masih dengan intonasi rendah.
“apakah
bagimu dengan menikahi ibunya sebelum ia pergi dari dunia ini itu cukup untuk
menjadi seorang ayah”, mata Maya merebak, hatinya amat sakit.
“ma’afkan
aku May, aku tau walaupun aku bersujud di kakimu takkan mampu mengobati semua
rasa sakit yang kamu rasakan. Tapi apa yang telah terjadi bukanlah keinginan ku….”,
jelas Yoga.
“Bapak gubernur yang saya hormati, saya juga
tidak pernah menginginkan menjadi perempuan yang hamil di luar nikah dan
membesarkan anak seorang diri selama 9 tahun”, Maya menatap Yoga dengan tatapan menuntut, semua yang telah di
laluinya membuat nya tak bisa menerima apapun kata –kata dari mulut Yoga.
“kamu yang
membohongiku May…… saat itu kamu bilang kalau kamu akan menggugurkan kandunganmu….”,.
“aku tidak
berkata seperti itu, aku hanya bilang kalau masalahmu akan teratasi….”.
“tapi
kenapa…., aku mencarimu May……sungguh”. Yoga menggenggam tangan maya.
“bukankah
saat itu kamu harus mengejar cita – citamu, menjadi orang besar, menjadi
pemimpin, menjadi kebanggaan orang tuamu?”, Maya terisak.
“Maya……..”,
“Sekarang
semua yang kamu inginkan sudah terwujud……, tapi aku bukan bagian dari cita –
cita hidupmu”. Lanjut Maya, suaranya melemah.
“kamu
menghilang May, kamu putus semua jaringan, aku tidak bisa menemukan kamu….”,
Yoga sedikit berani membela diri.
“Lalu
apakah kamu mau kehilangan masa depanmu jika aku tidak hilang? Bukankah kamu
lebih rela menyuruhku aborsi daripada menikah denganku”, suara Maya kembali
meninggi, luka di hatinya terasa kembali perih.
“aku tau
aku salah May, untuk itu aku meminta ma’afmu,
aku terima semua yang akan kamu lakukan terhadapku asal itu bisa menggantikan
semua rasa sakitmu”, ucap Yoga sungguh – sungguh.
“tidak ada
yang bisa menggantikan rasa sakitku,”
“kita sudah
menikah…. Tidakkah bisa kamu memberi kesempatan untukku mencoba memperbaiki semuanya?”.
“bukan aku
yang menginginkan pernikahan ini…. Semua ku lakukan untuk kebahagiaan Halisa di
sisa hidupnya….”.
“Maya,
Halisa pasti akan terluka di alam sana dengan sikapmu ini…..” Yoga berusaha
membuka hati Maya,
Maya
beranjak dari duduknya, perasaannya tak menentu. Di tinggalkannya Yoga yang
masih terpaku dalam rasa penyesalan dan harapannya akan kembalinya cinta Maya.
Rumah sederhana
bercat kuning itu lengang, 3 hari telah berlalu sejak Halisa meninggal dunia.
Maya menolak untuk tinggal di rumah gedung gubernur, ia keukeuh untuk tetap
tinggal dirumahnya. Hati Maya belum juga melunak, ia benar – benar sulit
menerima kehadiran Yoga kembali dalam hidupnya meskipun mereka telah menikah.
Jabatan besar sebagai gubernur Banten tidak membuat Yoga merasa harus
mempertahankan harga diri yang tinggi, baginya kesalahan adalah sesuatu yang
harus digantikan. Maya adalah cinta pertamanya, mereka menjalin hubungan sejak
SMA sampai menjelang masuk Perguruan Tinggi, mereka melewati batas sebagai pasangan yang
belum terikat perkawinan, Maya hamil, tapi saat itu Yoga benar – benar bingung
dengan semua kenyataan itu. Ayahnya yang juga orang penting dalam pemerintahan
daerah Banten sangat menginginkan dirinya bisa menjadi orang besar, tiket
pesawat menuju California dan menempuh study di sebuah Universitas di sana
memaksanya memilih, belumsempat ia menetapkan pilihannya, Maya lebih dulu memilih meninggalkannya. Kini, jabatan
sebagai gubernur tidaklah begitu penting untuknya, dengan sabar ia tetap
menemui Maya meskipun ia harus tinggal di rumah yang tidak serupa dengan rumah
seorang gubernur.
Maya
terduduk di kursi rotan yang menghadap persis ke kolam ikan buatan yang
terdapat air mancur dngan gemericik gaduh. Ia masih merasakan betapa pedihnya
saat – saat berat dalam hidupnya, sulit menghapus ingatan masa suram itu dari
pikirannya. Bagaimana ia hamil dan orang – orang menganggapnya wanita murahan,
cibiran, cercaan.. bagaimana ia membesarkan Halisa dengan jerih payah dan kerja
kerasnya sendiri, bagimana ia harus menerima kenyataan bahwa Halisa mengidap
penyakit kanker otak, bagaimana ia harus kehilangan putri satu – satunya sekaligus
permata dalam hidupnya. Apakah dia harus mengatakan bahwa ia sangat membenci
pria itu?, hatinya begitu mendendam, luka itu sngat parah.
Prayoga
menemuinya disana dengan senyum yang mengembang di bibirnya, Maya hanya
menatapnya dengan ekor matanya.
“sudah
makan May??”, Tanya pria teguh di hadapannya.
“Aku ingin
bercerai”. Ucap Maya tegas, Yoga tampak terkejut.
“Maya, katakana
saja apa yang harus aku lakukan agar membuatmu mema’afkanku….”, seru Yoga
tenang, meskipun hatinya sedih dan risau.
“itulah
yang membuatku mema’afkanmu”.
“jangan
mendustai hatimu”.
“aku tidak
penah berdusta untuk kepedihan yang aku rasakan”.
“aku sangat
mencintaimu May, tidak ada perempuan lain di hatiku”.
“aku sangat
membencimu, bahkan orang yang paling aku benci ddunia ini”.
“aku tidak
akan menceraikanmu”
“kalau
begitu aku tidak akan pernah mema’afkanmu”.
“aku akan
melakukan apapun agar kamu memahami semuanya, akan ku pertaruhkan segalanya,
harga diriku, kehormatan bahkan nyawaku sendiri”.
“akan ku
siapkan surat gugatan cerai segera”,paksa Maya, ia beranjak dan meninggalkan
laki – laki sabar yang tengah menata hatinya. Maya benar – benar teguh, luka
membuatnya meletakkan keegoisan ketempat tertinggi.
Pemerintahan
Daerah provinsi Banten akan mengadakan aacara peringatan ulang tahun Banten.
Gubernur daerah seyogyanya akan tampil untuk berpidato dan menyapa masyarakat
Banten. Muhammad Prayoga mengerutkan keningnya menjelang pidatonya, hanya ada bayang
– bayang wanita berhati batu itu di pelupuk matanya. Kata – kata Maya terus
terngiang di telinganya, ia begitu takut kehilangan wanita yang amat
dicintainya untuk yang kesekian kali. Hidupnya kini hanya tertuju pada Maya,
istri yang di nikahinya seminggu lalu untuk putrinya.
Kamera
wartawan berkilat – kilat menuju tubuh tegap bapak gubernur yang siap menuju
mimbar kebesarannya, semua media masa, pers bahkan masyarakat Banten kini ada
dihadapannya untuk mendengarkan pidato orang kebanggaan mereka. Muhammad
Prayoga mengulas senyum simpul, Maya Purnama juga mungkin tengah melihatnya di televisi.
“hadirin
dan seluruh masyarakat Banten yang saya hormati…..”ucap Pak gubernur membuka
pidato.
“saya
berdiri disini sebagai orang biasa, bukan lah seorang gubernur atau wakil
pemerintahan Banten….”.
“saya telah
brpikir masak – masak untuk keputusan saya ini. Bersamaan dengan berakhirnya
pidato saya nanti, saya siap untuk di copot dari jabatan saya”.
Semua mata
menatap penuh rasa heran, bagaimana mungkin seorang gubernur melakukan pidato
yang tidak layak seperti itu.
“saya hanya
ingin mengakui satu kesalahan terbesar saya di hadapan semua masyarakat dan
semoga ini bisa menebus semuanya. Saya
pernah menyakiti seorang wanita dalam hidup saya.”, Yoga menghentikan ucapanya
sejenak, di teguhkannya hatinya.
“saya jga
pernah memiliki seoang putri di luar ikatan perkawinan. Saya menyia – nyiakan wanita
yang telah mengandung anak saya hingga dia harus menanggung beban hidup seorang
diri. Dihadapan semua masyarakat, saya katakan siapa saya sebenarnya. Saya tidak memikirkan jabatan saya sebagai
gubernur Banten lagi, saya mungkin tidak begitu pantas untuk menjabatnya karena
saya adalah orang yang gagal dalam kehidupan. Pengakuan ini saya tujukan untuk
istri saya yang saya cintai, Maya Purnama, ma’afkan semua kesalahan saya”.
Sejenak
orang – orang di sekitar panggung kebearan tampak tercengang, Muhamma Prayoga
tersenyum, para wartawan semakin gencar mengambil gambarnya, ini adalah berita
paling besar dalam periode sejarah, dial ah satu – satunya gubernur yang berani
dan sangat tidak memikirkan kehormatan dan wibawanya sebagai orang penting . Mungkin
para wartawan itu akan menulis judul besar di Koran – korannya “Gubernur Banten
Akui Hamili wanita dan Siap di Copot”.
“Terimakasih,
salam sejahtera untuk masyarat Banten, Dirgahayu”, Muhammad Prayoga menutup
pidatonya. Tak disangka, para hadirin menyambutnya dengan tepuk tangan dan
sorak sorai yang membahana, ada banyak orang yang kagum pada sikap berani pak
gubernur dan tak sedikit yang menganggapnya nyeleneh. Dengan langkah pasti,
Yoga turun dari mimbar kebesarannya.
Mobil
verary abu – abu milik Yoga akhirnya lolos dari kejaran wartawan yang masih
penasaran dan masih sibuk berburu informasi untuk berita terhangat mereka.
Perasaan pria itu masih tak menentu, ia memang tak memikirkan harga dirinya
lagi, mungkin begitulah yang di rasakanMaya ketika harus mengorbankan harga
dirinya dan dicap sebagai wanita murahan saat mengandung.
Muhammad
Prayoga sang gubernur itu melihat wanita yang semakin tampak ayu di depan pintu,
perlahan di dekatinya pemilik rambut panjang dan ikal yang memiliki kulit putih
bersih itu. Pandangannya sayu, lurus seakan menembus jantung Yoga, kini mereka
berhadap – hadapan. Empat mata mereka sling berpandangan, diam, bisu……
Maya meraih
tubuh Yoga seiring isak tangisnya, ketika hati mulai bicara, maka kekuatan
cinta meluruhkan semua rasa benci di dalam hati. Yoga memeluk erat wanita itu,
matanya pun ingin menangis, walaupun ia seorang lelaki.
Kamis, 22 Maret 2012
Jika Aku Bisa........
Ku pandangi selembar potret beku di bingkai berbentuk hati yang menyimpan wajahnya, seorang pria berambut cepak dan berlesung pipi yang berpose manis merangkul ku . Malam selalu menayangkan mimpi - mimpiku tentangnya, senyumnya, bahasanya, keramahannya........ aku menjadikannya bunga aster yang memutih dihatiku. Aku berkenalan dengannya di cafe tempat ku dan teman - teman nongkrong atau sekedar kumpul -kumpul, Tangannya dingin ketika menjabatku, mataku tak bisa membuang rekaman moment itu bahkan genggamannya mengalirkan energi elektromagnetik yang membuat darah ku bergelombang hebat.
"hai,boleh tau namanya?", sapanya, suaranya jernih walau seperti suara sopran yang sedikit tidak sesuai dengan pita suara laki - laki segagah dirinya.
"Karina", balasku sambil mengulas senyum.
"Bisa nyanyi?", tanyanya padaku.
"sedikit.....", jawabku ragu, ia tersenyum dan menarikku dari tempaku duduk.
Kini aku mendampinginya diatas panggung kecil di hadapan pengunjung cafe malam itu. Ia memandangku dengan matanya yang semakin membuat engsel - engsel kaki ku lemas. Jari - jarinnya mulai memetik gitar.
"Gaby, "begitu indah" Karina.....", serunya menyebutkan judul lagu yang harus kunyanyikan. Aku mengangguk.
Kami menyelesaikan lagu itu dengan kolaborasi yang sangat baik, dengan iringan not not yang dimainkannya dalam petikan gitarnya, aku bernyanyi dengan hatiku. Hal biasa untuk ku sekedar menyanyikan lagu lama sebagai vokalis band, temanku Jeni yang memintanya mengajakku bernyanyi.
Dia pengiring lagu baru di cafe ini, mulai saat itu aku semakin sering melihatnya memetik gitar untuk mengiringi lagu yang dinyanyikan penghibur cafe. Gayanya memainkan gitar, tampilannya yang modis dengan jaket kulit hitam dan jam tangan Swiss Army yang melingkar ditangannya, dia begitu indah.
Ia pribadi yang terbuka, kami cukup dekat sebagai teman, tapi aku merasakan sesuatu yang lebih dari sekedar teman. Kami sering menghabiskan waktu bersama, dia begitu lepas, tidak ada batasan atas semua sikapnya, aku sangat tenang tiap kali dia merangkul dan menggandeng tubuhku. Pengharapanku terlalu tinggi untuk ku sandarkan padanya, tapi dia tak pernah bicara cinta.....
12 Maret, hari ini tepat hari ulang tahunnya. Aku mendapatkan data itu dari akun facebooknya. Sengaja ku siapkan sebuah kue tart manis untuknya, ada dua buah lilin diatasnya dengan hiasan krim berbentuk mawar - mawar merah dan tulisan "happy birthday Eka". Kusiapkan hatiku pula untuk mengatakan segala angan dan rasaku untuknya disaat yang begitu berarti miliknya ini.
Untuk pertama kalinya aku berkunjung ketempat kosnya, aku berharap semoga ini akan menjadi surprise terindah untuk Eka. Kamarnya dibagian belakang, teman satu kosnya memberikan jalan untukku menemuinya.
"Eka itu anaknya tertutup mbak, kita - kita aja nggak pernah di ijinin masuk kamarnya", seru teman satu kos Eka yang bertubuh agak gemuk dan berambut ikal.
"masa sih mas, ya biar saya aja yang masuk kamrnya deh", responku, dia tertawa.
"ya udah coba aja, ayo saya antar", tawarnya.
Kami tiba didepan kamar Eka terletak paling pojok. Aku mengetuk pintu, kue tart di tanganku lilinnya sudah menyala terang. Eka membuka pintu dan nampak terkejut.
"happy birthday to you....happy birthday to you....happy birthday happy birthday...happy birthday Eka...",aku menyanyikan lagu ulang tahun untuknya, ia tersenyum dan meniup lilinnya.
"makasih Karina.....", serunya berterimakasih, aku mengangguk.
Benar saja, ia mengijinkanku masuk kamar. Kamarnya tidak terlalu lebar, tapi sangat nyaman, tidak biasa ketika ada seorang laki - laki yang menata kamarnya amat rapi dan wangi, bahkan ada bunga sedap malam disudut ruangan. Ia menjajariku yang sejak tadi terduduk diatas kasur bersprei biru dan meneliti seisi kamar.
"kenapa, ada yang aneh?", tanyanya.
"rapi banget...", jawabku.
"Karin, ada yang mau aku omongin sama kamu...", katanya lagi dengan nada serius. Aku memandangnya dengan harapan ia akan mengatakan cinta padaku, seperti mimpi - mimpiku selama ini.
"apa?", tanyaku dengan hati dag dig dug.
Ia menarik nafas dan menggeser letak duduknya lebih dekat denganku.
"Sebelumnya aku pngen tau......kenapa kamu baik banget sama aku?', ucapnya. Aku menata barisan kata sebelum menjawab pertanyaannya, semoga tidak ada yang salah.
"aku sayang kamu Ka.....", jawabku tenang.
Ia malh memandangku lekat - lekat, respon yang justru membuat erasaanku semakin tak enak.
"ini yang aku takutkan......", serunya.
"maksudmu?", tanyaku dengan hati yang tak menentu.
"apakah kamu pernah berpikir bahwa aku bukanlah seorang laki - laki?".
Pertnyaan Eka seperti halilintar yang menyambar dan merobohkan rasa yang selama ini kukumpulkan.
"Aku nggak ngerti, ....", ucapku dengan mata yang mulai perih.
"kita ini sama Karin, aku adalah perempuan sepertimu, aku memang seorang laki - laki selama ini, tapi itu adalah tuntutan hidup yang harus aku jalani...", jelasnya, aku serasa ingi pingsan, hatiku bergejolak dan terasa sangat sakit.
"Itu nggak mungkinnn....", teriakku. Ia menggenggam taganku, bibirk bergetar menahan kekecewaan dalam hatiku.
"keluargaku orang yang sangat tidak mampu Karin, aku menghidupi 4 orang adikku dan ibu ku yang sedang sakit di Indramayu. Aku harus menjadi orang yang kuat ketika harus bersaing mendapatkan pekerjaan di Jakarta ini. Menjadi satpam dan pengiring lagu di cafe adalah satu - satuya usaha yang bisa aku lakukan. Aku terpaksa menutupi identitasku dan menjadi laki - laki agar aku bisa menjalani pekerjaanku. Aku sangat senang mengenalmu.....sungguh..... tapi inilah kenyataannya", ceritanya, aku tak mampu lagi berkata - kata, semuanya telah hancur...... ini gila bagiku.
"Ma'afkan aku membuatmu salah menempakan aku dalam hidupmu....",katanya lagi.
"pandai sekali kau menarik hati seorang wanita....... apakah tidak bisa kenyataan ini dirubah agar hati ini tidak terluka?", ucapku degan bibir gemetar.
"jika aku bisa, aku akan memilih menjadi seorang laki - laki agar bisa menjaga hatimu", ucapnya.
Tangisku tumpah, tak tahan lagi aku menopang hati yang telah patah, kubiarkan ia jatuh lunglai di tanah.
Eka menarik dan merengkuhku dalam pelukannya,
"biarkan aku menjagamu sebagai adikku...... lupakan laki - laki bernama Eka dalam hatimu, dan kenalilah aku sebagai perempuan yang kau kasihi sebagai kakakmu...", lanjutnya.
Aku mengangguk. Begitu banyak rahasia di dalam kehidupan ini, terkadang apa yang kita tahu bukanlah sesuatu yang nyata, justru sebuah kejujuran itu ada ketika kita menempatkan keterusterangan ditempat tertinggi, keyakinan tidak cukup, yang terpenting adalah keikhlasan menghadapi kenyataan yang ada.
"hai,boleh tau namanya?", sapanya, suaranya jernih walau seperti suara sopran yang sedikit tidak sesuai dengan pita suara laki - laki segagah dirinya.
"Karina", balasku sambil mengulas senyum.
"Bisa nyanyi?", tanyanya padaku.
"sedikit.....", jawabku ragu, ia tersenyum dan menarikku dari tempaku duduk.
Kini aku mendampinginya diatas panggung kecil di hadapan pengunjung cafe malam itu. Ia memandangku dengan matanya yang semakin membuat engsel - engsel kaki ku lemas. Jari - jarinnya mulai memetik gitar.
"Gaby, "begitu indah" Karina.....", serunya menyebutkan judul lagu yang harus kunyanyikan. Aku mengangguk.
Kami menyelesaikan lagu itu dengan kolaborasi yang sangat baik, dengan iringan not not yang dimainkannya dalam petikan gitarnya, aku bernyanyi dengan hatiku. Hal biasa untuk ku sekedar menyanyikan lagu lama sebagai vokalis band, temanku Jeni yang memintanya mengajakku bernyanyi.
Dia pengiring lagu baru di cafe ini, mulai saat itu aku semakin sering melihatnya memetik gitar untuk mengiringi lagu yang dinyanyikan penghibur cafe. Gayanya memainkan gitar, tampilannya yang modis dengan jaket kulit hitam dan jam tangan Swiss Army yang melingkar ditangannya, dia begitu indah.
Ia pribadi yang terbuka, kami cukup dekat sebagai teman, tapi aku merasakan sesuatu yang lebih dari sekedar teman. Kami sering menghabiskan waktu bersama, dia begitu lepas, tidak ada batasan atas semua sikapnya, aku sangat tenang tiap kali dia merangkul dan menggandeng tubuhku. Pengharapanku terlalu tinggi untuk ku sandarkan padanya, tapi dia tak pernah bicara cinta.....
12 Maret, hari ini tepat hari ulang tahunnya. Aku mendapatkan data itu dari akun facebooknya. Sengaja ku siapkan sebuah kue tart manis untuknya, ada dua buah lilin diatasnya dengan hiasan krim berbentuk mawar - mawar merah dan tulisan "happy birthday Eka". Kusiapkan hatiku pula untuk mengatakan segala angan dan rasaku untuknya disaat yang begitu berarti miliknya ini.
Untuk pertama kalinya aku berkunjung ketempat kosnya, aku berharap semoga ini akan menjadi surprise terindah untuk Eka. Kamarnya dibagian belakang, teman satu kosnya memberikan jalan untukku menemuinya.
"Eka itu anaknya tertutup mbak, kita - kita aja nggak pernah di ijinin masuk kamarnya", seru teman satu kos Eka yang bertubuh agak gemuk dan berambut ikal.
"masa sih mas, ya biar saya aja yang masuk kamrnya deh", responku, dia tertawa.
"ya udah coba aja, ayo saya antar", tawarnya.
Kami tiba didepan kamar Eka terletak paling pojok. Aku mengetuk pintu, kue tart di tanganku lilinnya sudah menyala terang. Eka membuka pintu dan nampak terkejut.
"happy birthday to you....happy birthday to you....happy birthday happy birthday...happy birthday Eka...",aku menyanyikan lagu ulang tahun untuknya, ia tersenyum dan meniup lilinnya.
"makasih Karina.....", serunya berterimakasih, aku mengangguk.
Benar saja, ia mengijinkanku masuk kamar. Kamarnya tidak terlalu lebar, tapi sangat nyaman, tidak biasa ketika ada seorang laki - laki yang menata kamarnya amat rapi dan wangi, bahkan ada bunga sedap malam disudut ruangan. Ia menjajariku yang sejak tadi terduduk diatas kasur bersprei biru dan meneliti seisi kamar.
"kenapa, ada yang aneh?", tanyanya.
"rapi banget...", jawabku.
"Karin, ada yang mau aku omongin sama kamu...", katanya lagi dengan nada serius. Aku memandangnya dengan harapan ia akan mengatakan cinta padaku, seperti mimpi - mimpiku selama ini.
"apa?", tanyaku dengan hati dag dig dug.
Ia menarik nafas dan menggeser letak duduknya lebih dekat denganku.
"Sebelumnya aku pngen tau......kenapa kamu baik banget sama aku?', ucapnya. Aku menata barisan kata sebelum menjawab pertanyaannya, semoga tidak ada yang salah.
"aku sayang kamu Ka.....", jawabku tenang.
Ia malh memandangku lekat - lekat, respon yang justru membuat erasaanku semakin tak enak.
"ini yang aku takutkan......", serunya.
"maksudmu?", tanyaku dengan hati yang tak menentu.
"apakah kamu pernah berpikir bahwa aku bukanlah seorang laki - laki?".
Pertnyaan Eka seperti halilintar yang menyambar dan merobohkan rasa yang selama ini kukumpulkan.
"Aku nggak ngerti, ....", ucapku dengan mata yang mulai perih.
"kita ini sama Karin, aku adalah perempuan sepertimu, aku memang seorang laki - laki selama ini, tapi itu adalah tuntutan hidup yang harus aku jalani...", jelasnya, aku serasa ingi pingsan, hatiku bergejolak dan terasa sangat sakit.
"Itu nggak mungkinnn....", teriakku. Ia menggenggam taganku, bibirk bergetar menahan kekecewaan dalam hatiku.
"keluargaku orang yang sangat tidak mampu Karin, aku menghidupi 4 orang adikku dan ibu ku yang sedang sakit di Indramayu. Aku harus menjadi orang yang kuat ketika harus bersaing mendapatkan pekerjaan di Jakarta ini. Menjadi satpam dan pengiring lagu di cafe adalah satu - satuya usaha yang bisa aku lakukan. Aku terpaksa menutupi identitasku dan menjadi laki - laki agar aku bisa menjalani pekerjaanku. Aku sangat senang mengenalmu.....sungguh..... tapi inilah kenyataannya", ceritanya, aku tak mampu lagi berkata - kata, semuanya telah hancur...... ini gila bagiku.
"Ma'afkan aku membuatmu salah menempakan aku dalam hidupmu....",katanya lagi.
"pandai sekali kau menarik hati seorang wanita....... apakah tidak bisa kenyataan ini dirubah agar hati ini tidak terluka?", ucapku degan bibir gemetar.
"jika aku bisa, aku akan memilih menjadi seorang laki - laki agar bisa menjaga hatimu", ucapnya.
Tangisku tumpah, tak tahan lagi aku menopang hati yang telah patah, kubiarkan ia jatuh lunglai di tanah.
Eka menarik dan merengkuhku dalam pelukannya,
"biarkan aku menjagamu sebagai adikku...... lupakan laki - laki bernama Eka dalam hatimu, dan kenalilah aku sebagai perempuan yang kau kasihi sebagai kakakmu...", lanjutnya.
Aku mengangguk. Begitu banyak rahasia di dalam kehidupan ini, terkadang apa yang kita tahu bukanlah sesuatu yang nyata, justru sebuah kejujuran itu ada ketika kita menempatkan keterusterangan ditempat tertinggi, keyakinan tidak cukup, yang terpenting adalah keikhlasan menghadapi kenyataan yang ada.
Langganan:
Postingan (Atom)