Surani adalah namaku. Dulu aku
pernah bertanya pada ibuku tentang nama ini. Kenapa hanya Surani, bukan
Suharyani atau Suryani, atau apalah. Kenapa hanya Surani. Menurut ibu tidak
perlu semua nama itu, karena bagaimanapun nama seorang anak adalah harapan
orang tuanya.
Menurut ibuku lagi, Su artinya bagus
atau baik, Rani adalah perempuan. Jadi kalau aku pikir – pikir , mungkin ibuku
ingin aku menjadi perempuan baik – baik atau paling tidak aku bisa menjadi
perempuan yang baik. Sebuah harapan yang sederhanna aku pikir.
Ketika aku masih gadis, pacar
pertamaku, laki – laki itu, meniduriku dikamar kostnya yang sempit, pengap,
dengan aroma rokok yang membuat kepalaku pusing.tapi aku yakin bukan karena
pusing hingga aku tidak cukup sadar ketika laki – laki itu merenggut kesucianku
diantara derai tangisku. Aku membencinya dan tidak lagi mencintainya, tapi aku
tak bisa memilih lagi.
“nduk, perempuan baik – baik itu
hanya menyerahkan keperawananannya hanya pada suaminya”.
Begitulah pesan ibu padaku
ketika aku memutuskan untuk meneruskan pendidikanku dikota besar ini. Pesan seorang
ibu pada anak gadisnya karena dia menganggap aku sudah cukup dewasa untuk
memaknai arti keperawanan ku. Tapi siapalah yang tahu kalau ternyata dunia
diluar sana membuatku lebih ringan memaknai keperawananku. Toh ini sekedar
kelamin, bukan sebuah kepercayaan yang aku anut. Salahkan dunia jika aku
begini.
Maka aku melayang kenirwana
sampai kemudian aku terjerembab ke bumi dan tersadar akan artiku sesungguhnya. Aku
meratapi diriku ketika ku sadari aku tak lagi utuh. Kenapa ibu ki membuatku
berpikir bahwa aku bukan lagi perempuan baik – baik. Ma’af saja, tapi bukannya
aku anak yang tidak berbakti pada orang tua, hanya saja aku tidak bisa memenuhi
harapannya. Menjadi perempuan baik – baik tak semudah mengartikan namnaku.
Aku berhenti meratap ketika laki
– laki itu, sambil menghisap rokok dalam – dalam kemudian berkata bahwa dia
akan menikahiku. Akupun kemudian sedikit lega karena artinya dia akan menjadi
suamiku dan aku kembali akan menjadi perempuan baik – baik. Paling tidak aku
bersuami.
Setelah yang pertama itu, tentu
saja ada yang kedua dan seterusnya. Sebuah pengorbanan yang kuserahkan dengan
bayaran janji yang aku yakini benar adanya. Aku terus bersamanya, menerimanya,
menemaninya kapanpun dia menginginkan kehadiranku. Hanya tinggal menunggu waktu
saja untukku bercerita pada ibu, bahwa aku telah menemukan seseorang yang akan
menjadi menantunya. Tentu saja aku tak perlu menceritakan bagian itu. Bisa mati
berdiri ibuku.
Dan suatu sore tenang di dalam
kamar kosnya, aku mengatakan pada laki – laki itu,
“mas, aku hamil”.
Sungguh sebuah jawaban yang
kumau, bukan,
“gugurkan, aku belum siap””.
Laki – laki itu tidak pernah
menikahiku. Heran, bagaimana bisa aku percaya saja, karena saat dia mengatakan
akan menikahiku, dia tidak berusaha memeluk ku untuk sekedar menenangkan. Dia hanya
duduk di satu – satunya kursi yang ada dikamarnyaitu, menyalakan rokok dan
menghisapnya dalam – dalam. Jadi kenapa aku sampai bisa menganggapnya sungguh –
sungguh.
Lihat saja aku sekarang,
berakhir ditempat tidur klinik bersalin ini. Kamar kecil berbau steril yang
menyengat dengan sakit yang amat sangat di tubuhku, aku keguguran, bukan
menggugurkan bayi yang tumbuh di rahimku itu. Tapi rasa sakit dan nyeri itu
tidak sebanding dengan sakit hatiku saat laki – laki itu tidak juga dating menjemputku
di klinik itu hingga aku harus pulang sendiri, berharap orang – orang yang
memandang ku cukup bodoh untuk percaya beginilah caraku berjalan. Tertatih,
laki – laki itu tidak datang.
Laki – laki itu tidak ingin
menikahiku, dia hanya mengawiniku setiap kali dia ingin, dan menyalakan rokok
setiap kali selesai. Maka akupun pasrah saja bahwa aku bukan perempuan baik –
baik – baik. Tapi aku tentu perempuan yang baik, karena aku sabar menunggunya
berubah menjadi laki – laki , bukan seorang bangsat. Aku menyerahkan segalanya
dalam keterpaksaanku, aku terus bersamanya meskipun aku tak lagi mencintainya yang telah
menghancurkan hidupku , dan ya aku
bodoh.
Aku meraung di kamarku malam
itu, aku ingat saat aku menjambak – jambak rambutku bagai orang gila, aku ingat
saat aku mulai gila ingin bunuh diri, bukan karena aku masih mencintainya,
tidak. Mungkin Tuhan masih menyayangiku hingga menakdirkan bayi mungilku tak
sempat lahir kedunia ini ini, itu semua agar ia tak menanggung beban
penderitaan sebagai anak seorang laki – laki bajingan. Aku berhenti dan
bersujud memohon ampun atas segala dosa – dosa yang telah aku perbuat padahal
Tuhan begitu menyayangiku.
Dua tahun berlalu, kini aku
menjadi seorang wanita dewasa, bukan seorang gadis belia yang suka menangis
sebelum tidur. Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai seorang
sekertaris. Dan bosku , pak Rama, seorang laki – laki beraroma wangi,
berperawakan sedang dan berkulit kuning langsat yang kerap memujiku tiap kali aku mengerjakan
pekerjaanku dengan baik dan saat pagi hari saat kami baru masuk kantor
“kamu cantik sekali hari ini
Rani”
Begitu ia selalu bilang ketika
kami berhadap – hadapan dengan pandangan yang sangat menyejukkan. Aku jatuh
hati padanya, tapi bukan lantaran ucapannya lantas aku menyukainya. Dia laki –
laki yang pantas dikagumi, seorang laki – laki yang tegas, ramah dan bijaksana
dan dia memperlakukan aku dengan baik, seperti perempuan baik – baik. Dan ia bukanlah seorang laki – laki yang
tinggal dikamar kos sempit dengan bau rokok yang menyengat.
“aku mencintai kamu Rani”, seru
pak Rama suatu hari.
“ cinta?” tanyaku setengah tak
percaya. Akhirnya terucap juga.
“iya, sungguh aku mencintai kamu.
Kenapa?, kamu nggak suka?”
“bapak yakin? Saya ini…..”
“apa?”, sambungnya
“saya nggak seperti yang bapak kira…. Dan sya
nggak pantas untuk di cintai”. Aku menunduk
“aku jujur dari hatiku Ran….”
“saya sudah tidak suci lagi pak…… saya bukan
perempuan yang baik untuk bapak”.
“nggak Ran, di mataku kamu adalah perempuan
yang sangat baik”. Pak Rama mengangkat
wjahku dan kemudian mengecup keningku.
Perempuan yang baik. Alas an yang membuatku
bungah bukan kepalang. Walau tanpa alas an itupun aku pasti mau menerimanya.
“saya juga mencintai Pak Rama”, ucapku sambil
menangis.
Pak Rama memelukku.
“makasih Ran, mulai sekarang panggil mas aja ya”.
“nggak enak di denger anak – anak pak”.
“ya kalu lagi berdua dan diluar kantor donk”.
Aku mengangguk. Aku begitu bahagia, aku seperti
menemukan kembali cinta yang telah lama hilang dari hatiku. Aku begitu
mencintaiya.
Begitulah kami, dan ia menerimaku apa adanya. Kini
dengan ikhlas aku membiarkannya menikmati tubuhku, karena dia adalah orang yang
aku cintai. Bersamanya berbeda dengan masa laluku, dia memperlakukanku sangat
istimewa, yang membuatku tenggelam dalam gelombang cinta yang menderu – deru.
Malam ini aku kembali menangis, meratapi
takdirku yang begitu menyakitkan. Mas Rama telah beristri, istrinya tinggal di
Singapura dan baru dua hari yang lalu kembali ke Indonesia. Kenapa dia tega
membohongiku, dia selalu mengatas namakan cinta untuk meluluhkan hatiku. Semua orang
memandangku begitu hina, perempuan perebut suami orang. Tapi di antara derai
air mataku aku ingin membuktikan perkataan mas Rama bahwa aku perempuan yang
baik, perempuan yang sabar, perempuan yang menerima sebagai orang kedua dalam
hidupnya. Tapi tentu aku tak selalu bisa menatap cermin dan berucap,
“aku perempuan yang baik”.