Minggu, 03 Juni 2012

Aku Perempuan Yang Baik

                Surani adalah namaku. Dulu aku pernah bertanya pada ibuku tentang nama ini. Kenapa hanya Surani, bukan Suharyani atau Suryani, atau apalah. Kenapa hanya Surani. Menurut ibu tidak perlu semua nama itu, karena bagaimanapun nama seorang anak adalah harapan orang tuanya.
                Menurut ibuku lagi, Su artinya bagus atau baik, Rani adalah perempuan. Jadi kalau aku pikir – pikir , mungkin ibuku ingin aku menjadi perempuan baik – baik atau paling tidak aku bisa menjadi perempuan yang baik. Sebuah harapan yang sederhanna aku pikir.
                Ketika aku masih gadis, pacar pertamaku, laki – laki itu, meniduriku dikamar kostnya yang sempit, pengap, dengan aroma rokok yang membuat kepalaku pusing.tapi aku yakin bukan karena pusing hingga aku tidak cukup sadar ketika laki – laki itu merenggut kesucianku diantara derai tangisku. Aku membencinya dan tidak lagi mencintainya, tapi aku tak bisa memilih lagi.
                “nduk, perempuan baik – baik itu hanya menyerahkan keperawananannya hanya pada suaminya”.
                Begitulah pesan ibu padaku ketika aku memutuskan untuk meneruskan pendidikanku dikota besar ini. Pesan seorang ibu pada anak gadisnya karena dia menganggap aku sudah cukup dewasa untuk memaknai arti keperawanan ku. Tapi siapalah yang tahu kalau ternyata dunia diluar sana membuatku lebih ringan memaknai keperawananku. Toh ini sekedar kelamin, bukan sebuah kepercayaan yang aku anut. Salahkan dunia jika aku begini.
                Maka aku melayang kenirwana sampai kemudian aku terjerembab ke bumi dan tersadar akan artiku sesungguhnya. Aku meratapi diriku ketika ku sadari aku tak lagi utuh. Kenapa ibu ki membuatku berpikir bahwa aku bukan lagi perempuan baik – baik. Ma’af saja, tapi bukannya aku anak yang tidak berbakti pada orang tua, hanya saja aku tidak bisa memenuhi harapannya. Menjadi perempuan baik – baik tak semudah mengartikan namnaku.
                Aku berhenti meratap ketika laki – laki itu, sambil menghisap rokok dalam – dalam kemudian berkata bahwa dia akan menikahiku. Akupun kemudian sedikit lega karena artinya dia akan menjadi suamiku dan aku kembali akan menjadi perempuan baik – baik. Paling tidak aku bersuami.
                Setelah yang pertama itu, tentu saja ada yang kedua dan seterusnya. Sebuah pengorbanan yang kuserahkan dengan bayaran janji yang aku yakini benar adanya. Aku terus bersamanya, menerimanya, menemaninya kapanpun dia menginginkan kehadiranku. Hanya tinggal menunggu waktu saja untukku bercerita pada ibu, bahwa aku telah menemukan seseorang yang akan menjadi menantunya. Tentu saja aku tak perlu menceritakan bagian itu. Bisa mati berdiri ibuku.
                Dan suatu sore tenang di dalam kamar kosnya, aku mengatakan pada laki – laki itu,
                “mas, aku hamil”.
                Sungguh sebuah jawaban yang kumau, bukan,
                “gugurkan, aku belum siap””.
                Laki – laki itu tidak pernah menikahiku. Heran, bagaimana bisa aku percaya saja, karena saat dia mengatakan akan menikahiku, dia tidak berusaha memeluk ku untuk sekedar menenangkan. Dia hanya duduk di satu – satunya kursi yang ada dikamarnyaitu, menyalakan rokok dan menghisapnya dalam – dalam. Jadi kenapa aku sampai bisa menganggapnya sungguh – sungguh.
                Lihat saja aku sekarang, berakhir ditempat tidur klinik bersalin ini. Kamar kecil berbau steril yang menyengat dengan sakit yang amat sangat di tubuhku, aku keguguran, bukan menggugurkan bayi yang tumbuh di rahimku itu. Tapi rasa sakit dan nyeri itu tidak sebanding dengan sakit hatiku saat laki – laki itu tidak juga dating menjemputku di klinik itu hingga aku harus pulang sendiri, berharap orang – orang yang memandang ku cukup bodoh untuk percaya beginilah caraku berjalan. Tertatih, laki – laki itu tidak datang.
                Laki – laki itu tidak ingin menikahiku, dia hanya mengawiniku setiap kali dia ingin, dan menyalakan rokok setiap kali selesai. Maka akupun pasrah saja bahwa aku bukan perempuan baik – baik – baik. Tapi aku tentu perempuan yang baik, karena aku sabar menunggunya berubah menjadi laki – laki , bukan seorang bangsat. Aku menyerahkan segalanya dalam keterpaksaanku, aku terus bersamanya  meskipun aku tak lagi mencintainya yang telah menghancurkan hidupku  , dan ya aku bodoh.
                Aku meraung di kamarku malam itu, aku ingat saat aku menjambak – jambak rambutku bagai orang gila, aku ingat saat aku mulai gila ingin bunuh diri, bukan karena aku masih mencintainya, tidak. Mungkin Tuhan masih menyayangiku hingga menakdirkan bayi mungilku tak sempat lahir kedunia ini ini, itu semua agar ia tak menanggung beban penderitaan sebagai anak seorang laki – laki bajingan. Aku berhenti dan bersujud memohon ampun atas segala dosa – dosa yang telah aku perbuat padahal Tuhan begitu menyayangiku.
                Dua tahun berlalu, kini aku menjadi seorang wanita dewasa, bukan seorang gadis belia yang suka menangis sebelum tidur. Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai seorang sekertaris. Dan bosku , pak Rama, seorang laki – laki beraroma wangi, berperawakan sedang dan berkulit kuning langsat  yang kerap memujiku tiap kali aku mengerjakan pekerjaanku dengan baik dan saat pagi hari saat kami baru masuk kantor
                “kamu cantik sekali hari ini Rani”
                Begitu ia selalu bilang ketika kami berhadap – hadapan dengan pandangan yang sangat menyejukkan. Aku jatuh hati padanya, tapi bukan lantaran ucapannya lantas aku menyukainya. Dia laki – laki yang pantas dikagumi, seorang laki – laki yang tegas, ramah dan bijaksana dan dia memperlakukan aku dengan baik, seperti perempuan baik – baik.  Dan ia bukanlah seorang laki – laki yang tinggal dikamar kos sempit dengan bau rokok yang menyengat.
                “aku mencintai kamu Rani”, seru pak Rama suatu hari.
                “ cinta?” tanyaku setengah tak percaya. Akhirnya terucap juga.
                “iya, sungguh aku mencintai kamu. Kenapa?, kamu nggak suka?”
                “bapak yakin? Saya  ini…..”
“apa?”, sambungnya
“saya nggak seperti yang bapak kira…. Dan sya nggak pantas untuk di cintai”. Aku menunduk
“aku jujur dari hatiku Ran….”
“saya sudah tidak suci lagi pak…… saya bukan perempuan yang baik untuk bapak”.
“nggak Ran, di mataku kamu adalah perempuan yang sangat baik”. Pak Rama mengangkat  wjahku dan kemudian mengecup keningku.
Perempuan yang baik. Alas an yang membuatku bungah bukan kepalang. Walau tanpa alas an itupun aku pasti mau menerimanya.
“saya juga mencintai Pak Rama”, ucapku sambil menangis.
Pak Rama memelukku.
“makasih Ran, mulai sekarang panggil mas aja ya”.
“nggak enak di denger anak – anak pak”.
“ya kalu lagi berdua dan diluar kantor donk”.
Aku mengangguk. Aku begitu bahagia, aku seperti menemukan kembali cinta yang telah lama hilang dari hatiku. Aku begitu mencintaiya.
Begitulah kami, dan ia menerimaku apa adanya. Kini dengan ikhlas aku membiarkannya menikmati tubuhku, karena dia adalah orang yang aku cintai. Bersamanya berbeda dengan masa laluku, dia memperlakukanku sangat istimewa, yang membuatku tenggelam dalam gelombang cinta yang menderu – deru.
Malam ini aku kembali menangis, meratapi takdirku yang begitu menyakitkan. Mas Rama telah beristri, istrinya tinggal di Singapura dan baru dua hari yang lalu kembali ke Indonesia. Kenapa dia tega membohongiku, dia selalu mengatas namakan cinta untuk meluluhkan hatiku. Semua orang memandangku begitu hina, perempuan perebut suami orang. Tapi di antara derai air mataku aku ingin membuktikan perkataan mas Rama bahwa aku perempuan yang baik, perempuan yang sabar, perempuan yang menerima sebagai orang kedua dalam hidupnya. Tapi tentu aku tak selalu bisa menatap cermin dan berucap,
“aku perempuan yang baik”.