Kamis, 31 Mei 2012

Perempuan Kedua

Tempat tidur ini luas, lembaran sprei merah mudanya terasa dingin. Malam ini lagi – lagi aku masih sendiri. Aku memandang  langit – langit kamar yang dibuat bertingkat dan terlihat minimalis, ingatan ku tertuju pada kejadian siang tadi.
                 “Nyonya  Raditya.” Seru laki – laki paruh baya pemilik toko kue langgananku.
                “ah koh Jimmy formal banget sih manggilnya”.
                “habis saya udah lama nggak ketemu, udah 3 minggu pulang dari mertua nggak mampir – mampir ke sini”
                “ah sibuk beres – beres kantor baru koh”.
                “eh perempuan itu jangan terlalu sibuk, sering – sering dirumah aja”
                “nggak bisa koh, lagian dirumah juga mau ngapain”.
                “makanya cepat – cepat buat babby, biar rumah nggak sepi”
                “maunya gitu koh Jim, tapi gimana lagi belum dikasih rejeki sama yang diatas”.
                “mau lanjut S3 lagi nih?”
                “maunya gitu koh, tapi mau focus kerumah tangga dulu lah. Dua atau tiga tahun lagi baru lanjut S3, pokoknya aku mau pegang gelar Ph.D sebelum umurku 30 koh”
“Masih lama lah itu, kamu kan baru 23 tahun. “
“hahaha, kokoh bisa aja…”
“ahhh, kok bisa Radit punya istri terlalu pintar seperti kamu itu, tapi kadang orang pintar itu nggak pandai memilih ya”
“maksudnya koh?”
“ya, sebenarnya kamu masih bisa bukan sekedar jadi istri kedua, nggak makan hati kalau tiap waktu harus bagi waktu dengan istri tua?”.
Ucapan Koh Jimmy seperti  sengatan lebah  di kepalaku, aku hanya tersenyum simpul.
“ini terang bulan coklat nya, ini brownies nya”.
Aku menerima dua kotak yang terbungkus kantong plastic berlabel  “Jims Cakes” itu.
“makasih yak koh Jim, mas Radit suka sekali kue buatan kokoh”.
“ya, kembali kasih, sering – sering datang kemari ya”.
Aku tersenyum sambil melangkah keluar toko “Jims Cakes” ini untuk pulang kerumah.
Kata – kata Koh Jimmy terus terngiang – ngiang ditelingaku, tapi bukankah aku sudah memilih jalan hidup seperti ini dan bukankah aku sudah tahu konskwensi yang harus aku terima. Aku mencintai suamiku, kami menikah atas dasar cinta, meskipun aku tahu dia sudah beristri, tapi aku tetap menyanggupi untuk menjadi istri kedua baginya.  Mertuaku juga orang – orang yang demokratis, mereka tidak pernah membedakan antara aku dan mbak Sahara, maduku. Walaupun awalnya mereka sempat menentang pernikahanku dengan mas Radit, karena pertimbangan yang begitu banyak. Kesiapan mas Radit untuk bersikap adil, kemampuan mas Radit memberikan nafkah lahir dan batin terhadap dua istrinya dan pandangan orang sekitar terhadap laki – laki yang berpoligami. Namun akhirnya mereka luluh dengan kekuatan cintaku dan mas Radit, dan mbak Sahara pun membiarkan dan mengikhlaskan untuk berbagi denganku.
Sahara, aku mengenal sosoknya sebagai wanita yang baik. Aku jarang berbicara dengannya, bahkan bertatap muka.  Kami membangun rumah tangga kami sendiri – sendiri dan tidak pernah mencampuri urusan masing – masing. Sahara terbilang jauh lebih dewas daripada aku, dia menikah saat usianya memasuki 25 tahun, dua tahun lebih tua dari mas Radit.  Sementara aku, melangsungkan pernikahanku dengan mas Radit setahun lalu. Dari pernikahannya, mas Radit belum mendapatkan satu  keturunan pun dari kami istri – istrinya.
Kejadian di toko kue Kokoh Jimmy seakan mengulangi saat - saat ketika aku berkunjung kerumah orang tua ku sebulan yang lalu pada pertemuan keluarga.  
"Andiiiiieeeeeeeeeeeeennn.... y Allah, tambah cantik aja kamu heeemmmhhh", seru tante Mer istri om Harmoko adik ibu sambil mencubit pipi ku.
"tante... ngagetin aja".
"mana, mana suamimu? ikut apa nggak?".Tante Mer tampak celingak celinguk dengan gayanya yang lebay.
"ikut tante."
"ooooo..... kirain sendirian, kali aja lagi di rumah istri tua gitu Ndien...".
Tante Mer menampakkan ekspresi yang tidak menyenangkan, aku mencoba tenang menghadapi wanita super cerewet itu.
"nggak tante, mas Radit sengaja ikut, ini kan acara keluarga".
"ya ampun Ndien Ndien, coba aja kamu ikutan saran tante untuk kawin sama anak temennya mas Harmoko.... atau nurutin orang tuamu, bukan malah milih jadi istri muda, sayang Ndien, Magister kok di madu", gumam tante Mer, aku menunduk, hatiku teriris mendengar ucapan - ucapannya yang menyudutkan posisiku dan terlihat sanga tidak menyukai pernikahanku dengan mas Radit. Akhirnya malam itu aku menangis keras di dada mas Radit.
Apa yang salah dengan istri kedua, poligami atau dimadu?. Kalaupun aku sarjana program S2 atau S3 sekalipun, nggak ada kata nggak pantes ketika aku memilih laki - laki yang aku cintai. kami sudah menjalaninya, mereka tidak tahu kebahagiaan kami.
Seharusnya malam ini mas Radit  pulang kerumahku, sejak seminggu lalu dia di Purwokerto. Disana mbak Sahara tinggal bersama ibunya, mas Radit menemuinya setiap seminggu sekali. aku semakin gelisah, aku sedikit merasa terabaikan. kalau malam ini mas Radit tak pulang, apakah mungkin ia lebih mencintai mbak Sahara dibanding aku.
Aku bangkit, jam dinding menunjukkan pukul 11.23 malam. Aku duduk dikursi ruang makan kami. Di meja masih utuh terang bulan dan brownies serta beberapa tusuk sate kambing kesukaan suamiku. Aku sengaja menyiapkannya untuk menyambut kedatangannya malam ini. Sudah setahun ini, mas Radit tetap selalu adil dimataku. Ia selalu tepat membagi waktu, dan kami pun tak pernah bertengkar dalam rumah tangga. Aku menunggunya dengan perasaan tak menentu, sedikit cemburu mulai muncul dalam hatiku, aku memang perempuan kedua dalam hidupnya, dan inilah konsekwensi seorang perempuan kedua.
Tiiinnn….tiiinnn....
Suara klakson mobil suamiku membuatku bergegas menyongsongnya, hatiku amat bahagia, kegelisahan ku terbayar oleh kedatangannya.
Kubuka pagar besi dan kutunggu pria yang paling kucintai itu memarkir mobil dan keluar menemuiku. Ia terlihat sangat tampan, seperti itulah ia dimataku. Senyumnya mengembang lebar mengiringi derap langkahnya.
“hai sayang….apa kabar?”. sapanya. Aku tersenyum, di ciumnya keningku, semua sikapnya membuat diriku melayang – layang dalam keagungan cinta.
‘baik, mas gimana?”
“ya seperti ini, ayo masuk…. Katanya ada sate kambing, udah laper nih.”
Kami beriringan masuk rumah, aku segera menyiapkan makanan dan kami akan segera melepas rindu malam ini.
Aku melepaskan jaket dan sepatu mas Radt sebelum ia makan. ia tersenyum manis. senyum tulus yang selalu tampak menggoda siapapun yang melihatnya.
"I love you my wife "
"I love you too my husband"
kami menikmati makan malam sambil bercerita banyak hal dan sering di iringi candaan lucu mas Radit yang memang suka ngebanyol. senangnya bisa tertawa lepas seperti ini. tapi kadang aku bertanya sendiri, apakah ini nyata, ini seperti too good to be true.
“hmmmm, kenyang banget sayang…. Makasih istriku yang canntik ini…”,
Mas Radit mencubit pipiku lembut, aku memandangnya tanpa berkedip. Aku merasa bahgia seperti ini, bersamanya, aku yakin dia memang jodohku.   Aku bangga menjadi isrinya, aku taka pa membaginya, dan aku sangat mencintainya.
Dering lagu Bruno mars terdengar di handphone ku, segera kubuka satu pesan diterima disana.

1 message received from Karina:

Andien daripada kamu menerderita, daripda jadi istri kedua yang nyiksa batin terus. mending kamu minta cerai dan cari pendamping yang baru. Kamu itu cantik, pintar, magister pula.... ayolah Ndien, msih banyak kehidupan yang pantas buat kamu...

Aku tersenyum,dan dengan keteguhan hati aku segera membalas pesan dari sahabatku itu.

Sorry Karin…. Aku sayang banget sama suamiku,dan aku nggak peduli apapun keadaannya, cinta sejati tidak harus dia selalu di samping kita dan utuh kita miliki, tapi bagaimana kita membangun sesuatu yang baik dalam rumah tangga dan kehidupan.  

Massege delivered……

Mas Radit memandangku, kami berdua tersenyum, aku akan menjaga semua yang diberikan suamiku untukkehidupanku.





Jumat, 18 Mei 2012

jangan ucapkan selamat tinggal !


Bunga – bunga bougenvil berceceran ditanah, ku pijakkan kaki ku diantaranya, ku hitung langkah – langkahku dan aku berusaha tak menginjak satupun bunga – bunga yang telah gugur itu. Ujung kerudung hitam ku berayun – ayun dibahuku, angin yang basah membias dwajah ku, ku biarkan ia mendinginkan kedua mataku. Bau tanah basah menyeruak, tapi harum melati masih menutupinya, bunga putih itu seperti seseorang yang mencintai yang tidak pernah membenci walau luka sedalam apapun menderanya.
Aku menatap jauh langit yang mungkin bisa  kujadikan kanvas untuk melukiskan wajahnya, dan ketika ku kerjapkan mataku, ada guliran air menetes dan turun dipipiku. Kedua lututku terpuruk ditanah, aku menangis keras dan terduduk diantara gerimis yang mulai menetes satu – satu. Tubuhku lemas, bibirku bergetar hebat dan sekejap aku terkulai di tanah.
“Dini…..!”, teriak laki – laki tinggi tegap yang muncul dan berlari menemuiku yang hanya bisa mendengar samar suaranya. Ia meraihku dalam pelukannya. Air mata ku masih saja deras namun hanya tersisa sesenggukan yang masih menarik – narik    saluran pernapasan yang menghubung dengan diafragma, berpotongan dengan pembuluh darah vena yang masuk ke jantung, hingga terasa amat sesak.  Beberapa detik ia menatapku, aku merasakan getar kekhawatirannya terhadapku. Dengan sigap dibopongnya aku, nafasnya tersengal – sengal menahan tubuhku dikedua tangannya. Ia menidurkanku di sofa ruang tamu.
Sentuhannya tak ada yang menyamai didunia ini, dalam separuh kesadaranku, hatiku terus bergemuruh menahan rasa sakit dan cinta yang membuat ku terlalu mengagungkannya. Ku buka mataku mengikuti detik waktu hingga wajahnya jelas terlihat dimataku. Lelaki terbaikku itu mengusap sisa – sisa air mataku dengan jarinya. Kami tak menciptakan satupun kata, hanya mata yang mengisyaratkan rasa cinta yang ada dihati masing – masing. Aku menyadari seberapa banyak waktu yang tersisa untuk ku bisa bersamanya, aku mungkin bukan orang yang kuat untuk menghadapi semua itu.
Seharusnya aku menghargai tiap detik yang berjalan, menjadikannya tak sia – sia. Tangan kami sudah saling mengenggam ketika kami sama – sama terbangun dari renungan.Ia menarik tubuhku dalam dekapannya, aku merengkuhnya dan menyembunyikan sebagian wajahku dibahunya, ku pejamkan mataku merasakan degup jantungnya.
“kamu tau kalau aku sayang sama kamu Dik, jangan seperti ini”, suaranya terdengar berat dan parau. Aku masih diam, ku hirup nafas ku sangat dalam, aroma tubuhnya yang wangi merasuki aliran darahku.
“aku selalu ada disamping kamu dik….. aku nggak meninggalkan kamu….”, lanjutnya, suaranya bertambah sendu, kurasakan tarikan putus – putus di antara nafasnya, ia menangis.
Aku melepaskan pelukan itu, ku tatap dirinya yang bertambah tulus dihadapanku. Matanya memerah, hatiku terenyuh melihat sikapnya. Aku tak pernah menyalahkannya untuk semua kenyataan ini dan aku tak pernah membencinya karena  ada sebuah kekuatan yaitu kami saling mencintai. Ku sunggingkan senyuman samar agar aku terlihat telah baik – baik saja.
“ma’afin aku ya…….”, ucapku pelan tapi kupastikan ia masih bisa mendengarnya.
“aku banyak salah sama kamu Dik, harusnya aku yang minta ma’af….”
“harusnya aku nggak seperti ini Mas, harusnya aku bersyukur kamu masih peduli sama aku…..”. seruku seperti orang yang berhati besar. Ia mendekatkan bibirnya untuk mencium keningku
“kamu tetap yang terindah dalam hidupku Dik…..”, ucapnya, deretan kata itu seperti bongkahan es yang mendinginkan ku. Aku luluh dalam lingkaran kedua tangannya.
Diluar hujan mulai turun, bukan lagi gerimis kecil – kecil. Aku sadar, tempatku sudah di tentukan. Aku tak akan menuntut lebih dari ini, cukup bagiku dia ada di dekatku dan masih mencintaiku. Aku abaikan seluruh rasa sakit dan kubangun sikap menerima dengan lapang apapun yang diberikan Tuhan kepadaku.
 “aku sudah tunangan Dik…”, ucap lelaki berhidung mancung itu beberapa waktu lalu, sekitar sebulan lalu. Saat itu kami menghabiskan waktu bersama, tak ada masalh, tapi ia mengungkapkan kejujuran yang justru membuat hatiku hancur dan robek begitu dalam. Aku diam, kami saling berpandangan.  Hatiku seperti mati rasa, mungkin karena terlalu sakit. Pita suaraku seperti terkunci, tak mampu mengeluarkan sepatah katapun, bisu.
“ma’afkan aku Dik …. Tapi aku harus jujur, aku nggak mungkin membohongimu terus menerus….”, jelasnya, satu sayatan lagi pada hatiku. Aku masih diam, bumi seakan berayun – ayun dan membuat tubuhku seperti tak bertulang. Ia menarikku kedadanya, disitulah tangisku tumpah tak terbendung lagi.
Aku tak bisa memarahinya atas semua yang telah dilakukannya terhadapku, aku tak mungkin mencaci maki dan membalasnya dengan kata – kata yang menyakitkan hatinya. Aku telah mencintainya, begitu mencintainya. Ia datang dan meyakinkanku atas rasa cinta dan keinginannya bersamaku dan aku menerimanya. Aku tak bisa menuntutnya tak seperti itu karena kenyataannya memang  seperti itu.  Dalam waktu yang singkat aku belajar menghargai sebuah kejujuran.
“kenapa kamu membohongiku selama ini mas Doni…..”, ratapku.
“ma’af Dik, tapi aku benar – benar sayang kamu…”, serunya dengan sedikit tekanan.
“aku juga sangat sayang sama mas…………”
“kenapa kamu nggak marah…. Tampar saja wajhku dik, aku pantas menerimanya… “ katanya sambil memegangi kedua pipiku, aku menggeleng.
“apa kamu juga mencintainya mas?”, tanyaku dengan suara yang kubuat sangat halus. Ia mengangguk.
“aku mencintainya dik, kami berhubungan sejak 4 tahun lalu…’, jawabnya. Hatiku terasa semakin perih.
“aku nggak bisa hidup tanpa kamu mas…..”.
Aku menubruknya, ku peluk erat dirinya. Entah kenapa aku begitu takut ia mengucapkan selamat tinggal padaku. Aku tak banyak memikirkan wanita itu, aku juga tak memikirkan bagaimana agar Mas Doni kumiliki seutuhnya.
Aku sadar seperti apa diriku, ini memang sesuatu yang sudah pantas untukku, tidak bisa lebih dari ini, ini yang paling baik. Bersyukur itu sulit ketika kita harus menanamkan rasa sabar dan keikhlasan, aku bersyukur tapi hatiku selalu merasa sakit. Banyak cara mensyukuri keadaan yang kita terima, aku bersyukur dengan tidak meminta lebih dari ini.
Aku telah mengenal wanita itu dari foto – fotonya, dia cantik. Dia wanita yang sangat beruntung. Mas Doni sangat mencintainya, mungkin dia bukan lelaki setia, tapi ia tak pernah meninggalkannya, dan itu adalah sebuah keberuntungan, aku sangat berharap ia bisa bersyukur seperti aku.
 Aku dan lelaki bermata elang itu masih duduk bersisian, kepalaku menempel pada pundaknya. Aku tak ingin memilikinya, tapi aku sangat takut kehilangannya. Gemuruh di dadaku masih belum reda, tak mudah menjadi aku.
“mas kemana satu minggu ini?”, tanyaku setelah lama terdiam.
“aku sedang ingin sendiri Dik….. ma’af membuat kamu seperti ini menunggu aku.”, jawabnya dengan suara basnya yang terdengar amat sejuk.
“aku takut kehilangan kamu mas, jangan tinggalin aku….”.
“sampai kapan kita akan seperti ini Dik?”.
Pertanyaannya membuat ku memalingkan pandangan ke wajahnya, matanya memancarkan rasa bimbang.
“sampai aku mati mas….”. ucapku pasti.
“jangan bicara seperti itu Dik, aku nggak suka kamu ngomong seakan – akan kamu mau mati, jangan buat aku takut….”. suaranya meninggi.
“aku nggak bisa hidup tanpa kamu mas, kalaupun kita harus berpisah, aku nggak mau kalau aku yang ditinggalkan, biar aku saja yang pergi pada saatnya nanti….”.
“jangan putus asa seperti itu Dik, kamu harus mengerti posisiku, aku sudah tunangan dan harus menikahinya, aku nggak tega menyakiti dia”.
“aku nggak meminta mas menyakiti atau meninggalkan dia, aku ngerti mas harus menikahi dia, aku tau aku disini siapa…. Aku….”.
Aku terhenti, ia menempelkan telunjuknya kebibirku. Di pegangnya sebelah pipiku, aku diam merasakan nafasnya yang berhembus diwajahku.
“jangan menangis lagi, mas nggak akan meninggalkan siapa – siapa….”. serunya.
Kalimatnya seakan menjadi penahan rasa sakit pada luka – luka dihatiku, aku sangat bahagia. Ku cium sebelah pipinya, ia tersenyum amat manis.
Lewat jendela terlihat gambar pelangi dilangit ujung sana, begitu indah. Tujuh warnanya bersisian dan tak saling berselisih, aku yakin kami pun bisa seperti itu walaupun berada di tempat yang sama. Merah lebih terang daripada hijau…. tapi hijau masih punya tempat disisi kuning sama seperti merah. Dan biarlah hari ini kuning dan hijau bersatu diantara senja yang singkat dan hilang saat tiba malam. Dan aku hanya meminta waktu senja saja untuk bersamanya, masih ada waktu malam, siang, pagi dan sore untuk ia kembali. Aku sangat mensyukuri senja yang kumiliki dan aku berjanji takkn mengambil lebih dari ini.