Bunga – bunga bougenvil berceceran
ditanah, ku pijakkan kaki ku diantaranya, ku hitung langkah – langkahku dan aku
berusaha tak menginjak satupun bunga – bunga yang telah gugur itu. Ujung
kerudung hitam ku berayun – ayun dibahuku, angin yang basah membias dwajah ku,
ku biarkan ia mendinginkan kedua mataku. Bau tanah basah menyeruak, tapi harum
melati masih menutupinya, bunga putih itu seperti seseorang yang mencintai yang
tidak pernah membenci walau luka sedalam apapun menderanya.
Aku menatap jauh langit yang mungkin
bisa kujadikan kanvas untuk melukiskan
wajahnya, dan ketika ku kerjapkan mataku, ada guliran air menetes dan turun
dipipiku. Kedua lututku terpuruk ditanah, aku menangis keras dan terduduk
diantara gerimis yang mulai menetes satu – satu. Tubuhku lemas, bibirku
bergetar hebat dan sekejap aku terkulai di tanah.
“Dini…..!”, teriak laki – laki
tinggi tegap yang muncul dan berlari menemuiku yang hanya bisa mendengar samar
suaranya. Ia meraihku dalam pelukannya. Air mata ku masih saja deras namun hanya
tersisa sesenggukan yang masih menarik – narik saluran pernapasan yang menghubung dengan
diafragma, berpotongan dengan pembuluh darah vena yang masuk ke jantung, hingga
terasa amat sesak. Beberapa detik ia
menatapku, aku merasakan getar kekhawatirannya terhadapku. Dengan sigap
dibopongnya aku, nafasnya tersengal – sengal menahan tubuhku dikedua tangannya.
Ia menidurkanku di sofa ruang tamu.
Sentuhannya tak ada yang menyamai
didunia ini, dalam separuh kesadaranku, hatiku terus bergemuruh menahan rasa sakit
dan cinta yang membuat ku terlalu mengagungkannya. Ku buka mataku mengikuti
detik waktu hingga wajahnya jelas terlihat dimataku. Lelaki terbaikku itu
mengusap sisa – sisa air mataku dengan jarinya. Kami tak menciptakan satupun
kata, hanya mata yang mengisyaratkan rasa cinta yang ada dihati masing –
masing. Aku menyadari seberapa banyak waktu yang tersisa untuk ku bisa
bersamanya, aku mungkin bukan orang yang kuat untuk menghadapi semua itu.
Seharusnya aku menghargai tiap detik
yang berjalan, menjadikannya tak sia – sia. Tangan kami sudah saling mengenggam
ketika kami sama – sama terbangun dari renungan.Ia menarik tubuhku dalam
dekapannya, aku merengkuhnya dan menyembunyikan sebagian wajahku dibahunya, ku
pejamkan mataku merasakan degup jantungnya.
“kamu tau kalau aku sayang sama kamu
Dik, jangan seperti ini”, suaranya terdengar berat dan parau. Aku masih diam,
ku hirup nafas ku sangat dalam, aroma tubuhnya yang wangi merasuki aliran
darahku.
“aku selalu ada disamping kamu dik…..
aku nggak meninggalkan kamu….”, lanjutnya, suaranya bertambah sendu, kurasakan
tarikan putus – putus di antara nafasnya, ia menangis.
Aku melepaskan pelukan itu, ku tatap
dirinya yang bertambah tulus dihadapanku. Matanya memerah, hatiku terenyuh
melihat sikapnya. Aku tak pernah menyalahkannya untuk semua kenyataan ini dan
aku tak pernah membencinya karena ada
sebuah kekuatan yaitu kami saling mencintai. Ku sunggingkan senyuman samar agar
aku terlihat telah baik – baik saja.
“ma’afin aku ya…….”, ucapku pelan
tapi kupastikan ia masih bisa mendengarnya.
“aku banyak salah sama kamu Dik,
harusnya aku yang minta ma’af….”
“harusnya aku nggak seperti ini Mas,
harusnya aku bersyukur kamu masih peduli sama aku…..”. seruku seperti orang
yang berhati besar. Ia mendekatkan bibirnya untuk mencium keningku
“kamu tetap yang terindah dalam
hidupku Dik…..”, ucapnya, deretan kata itu seperti bongkahan es yang
mendinginkan ku. Aku luluh dalam lingkaran kedua tangannya.
Diluar hujan mulai turun, bukan lagi
gerimis kecil – kecil. Aku sadar, tempatku sudah di tentukan. Aku tak akan
menuntut lebih dari ini, cukup bagiku dia ada di dekatku dan masih mencintaiku.
Aku abaikan seluruh rasa sakit dan kubangun sikap menerima dengan lapang apapun
yang diberikan Tuhan kepadaku.
“aku sudah tunangan Dik…”, ucap lelaki
berhidung mancung itu beberapa waktu lalu, sekitar sebulan lalu. Saat itu kami
menghabiskan waktu bersama, tak ada masalh, tapi ia mengungkapkan kejujuran
yang justru membuat hatiku hancur dan robek begitu dalam. Aku diam, kami saling
berpandangan. Hatiku seperti mati rasa,
mungkin karena terlalu sakit. Pita suaraku seperti terkunci, tak mampu
mengeluarkan sepatah katapun, bisu.
“ma’afkan aku Dik …. Tapi aku harus
jujur, aku nggak mungkin membohongimu terus menerus….”, jelasnya, satu sayatan
lagi pada hatiku. Aku masih diam, bumi seakan berayun – ayun dan membuat
tubuhku seperti tak bertulang. Ia menarikku kedadanya, disitulah tangisku
tumpah tak terbendung lagi.
Aku tak bisa memarahinya atas semua
yang telah dilakukannya terhadapku, aku tak mungkin mencaci maki dan
membalasnya dengan kata – kata yang menyakitkan hatinya. Aku telah
mencintainya, begitu mencintainya. Ia datang dan meyakinkanku atas rasa cinta
dan keinginannya bersamaku dan aku menerimanya. Aku tak bisa menuntutnya tak seperti
itu karena kenyataannya memang seperti
itu. Dalam waktu yang singkat aku belajar
menghargai sebuah kejujuran.
“kenapa kamu membohongiku selama ini
mas Doni…..”, ratapku.
“ma’af Dik, tapi aku benar – benar sayang
kamu…”, serunya dengan sedikit tekanan.
“aku juga sangat sayang sama mas…………”
“kenapa kamu nggak marah…. Tampar saja
wajhku dik, aku pantas menerimanya… “ katanya sambil memegangi kedua pipiku,
aku menggeleng.
“apa kamu juga mencintainya mas?”,
tanyaku dengan suara yang kubuat sangat halus. Ia mengangguk.
“aku mencintainya dik, kami
berhubungan sejak 4 tahun lalu…’, jawabnya. Hatiku terasa semakin perih.
“aku nggak bisa hidup tanpa kamu mas…..”.
Aku menubruknya, ku peluk erat
dirinya. Entah kenapa aku begitu takut ia mengucapkan selamat tinggal padaku. Aku
tak banyak memikirkan wanita itu, aku juga tak memikirkan bagaimana agar Mas
Doni kumiliki seutuhnya.
Aku sadar seperti apa diriku, ini
memang sesuatu yang sudah pantas untukku, tidak bisa lebih dari ini, ini yang
paling baik. Bersyukur itu sulit ketika kita harus menanamkan rasa sabar dan
keikhlasan, aku bersyukur tapi hatiku selalu merasa sakit. Banyak cara
mensyukuri keadaan yang kita terima, aku bersyukur dengan tidak meminta lebih
dari ini.
Aku telah mengenal wanita itu dari
foto – fotonya, dia cantik. Dia wanita yang sangat beruntung. Mas Doni sangat
mencintainya, mungkin dia bukan lelaki setia, tapi ia tak pernah meninggalkannya,
dan itu adalah sebuah keberuntungan, aku sangat berharap ia bisa bersyukur
seperti aku.
Aku dan lelaki bermata elang itu masih duduk
bersisian, kepalaku menempel pada pundaknya. Aku tak ingin memilikinya, tapi
aku sangat takut kehilangannya. Gemuruh di dadaku masih belum reda, tak mudah
menjadi aku.
“mas kemana satu minggu ini?”,
tanyaku setelah lama terdiam.
“aku sedang ingin sendiri Dik….. ma’af
membuat kamu seperti ini menunggu aku.”, jawabnya dengan suara basnya yang
terdengar amat sejuk.
“aku takut kehilangan kamu mas,
jangan tinggalin aku….”.
“sampai kapan kita akan seperti ini
Dik?”.
Pertanyaannya membuat ku memalingkan
pandangan ke wajahnya, matanya memancarkan rasa bimbang.
“sampai aku mati mas….”. ucapku
pasti.
“jangan bicara seperti itu Dik, aku
nggak suka kamu ngomong seakan – akan kamu mau mati, jangan buat aku takut….”.
suaranya meninggi.
“aku nggak bisa hidup tanpa kamu
mas, kalaupun kita harus berpisah, aku nggak mau kalau aku yang ditinggalkan,
biar aku saja yang pergi pada saatnya nanti….”.
“jangan putus asa seperti itu Dik,
kamu harus mengerti posisiku, aku sudah tunangan dan harus menikahinya, aku
nggak tega menyakiti dia”.
“aku nggak meminta mas menyakiti
atau meninggalkan dia, aku ngerti mas harus menikahi dia, aku tau aku disini
siapa…. Aku….”.
Aku terhenti, ia menempelkan
telunjuknya kebibirku. Di pegangnya sebelah pipiku, aku diam merasakan nafasnya
yang berhembus diwajahku.
“jangan menangis lagi, mas nggak
akan meninggalkan siapa – siapa….”. serunya.
Kalimatnya seakan menjadi penahan
rasa sakit pada luka – luka dihatiku, aku sangat bahagia. Ku cium sebelah
pipinya, ia tersenyum amat manis.
Lewat jendela terlihat gambar
pelangi dilangit ujung sana, begitu indah. Tujuh warnanya bersisian dan tak
saling berselisih, aku yakin kami pun bisa seperti itu walaupun berada di
tempat yang sama. Merah lebih terang daripada hijau…. tapi hijau masih punya
tempat disisi kuning sama seperti merah. Dan biarlah hari ini kuning dan hijau
bersatu diantara senja yang singkat dan hilang saat tiba malam. Dan aku hanya
meminta waktu senja saja untuk bersamanya, masih ada waktu malam, siang, pagi
dan sore untuk ia kembali. Aku sangat mensyukuri senja yang kumiliki dan aku
berjanji takkn mengambil lebih dari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar