Jumat, 18 Mei 2012

jangan ucapkan selamat tinggal !


Bunga – bunga bougenvil berceceran ditanah, ku pijakkan kaki ku diantaranya, ku hitung langkah – langkahku dan aku berusaha tak menginjak satupun bunga – bunga yang telah gugur itu. Ujung kerudung hitam ku berayun – ayun dibahuku, angin yang basah membias dwajah ku, ku biarkan ia mendinginkan kedua mataku. Bau tanah basah menyeruak, tapi harum melati masih menutupinya, bunga putih itu seperti seseorang yang mencintai yang tidak pernah membenci walau luka sedalam apapun menderanya.
Aku menatap jauh langit yang mungkin bisa  kujadikan kanvas untuk melukiskan wajahnya, dan ketika ku kerjapkan mataku, ada guliran air menetes dan turun dipipiku. Kedua lututku terpuruk ditanah, aku menangis keras dan terduduk diantara gerimis yang mulai menetes satu – satu. Tubuhku lemas, bibirku bergetar hebat dan sekejap aku terkulai di tanah.
“Dini…..!”, teriak laki – laki tinggi tegap yang muncul dan berlari menemuiku yang hanya bisa mendengar samar suaranya. Ia meraihku dalam pelukannya. Air mata ku masih saja deras namun hanya tersisa sesenggukan yang masih menarik – narik    saluran pernapasan yang menghubung dengan diafragma, berpotongan dengan pembuluh darah vena yang masuk ke jantung, hingga terasa amat sesak.  Beberapa detik ia menatapku, aku merasakan getar kekhawatirannya terhadapku. Dengan sigap dibopongnya aku, nafasnya tersengal – sengal menahan tubuhku dikedua tangannya. Ia menidurkanku di sofa ruang tamu.
Sentuhannya tak ada yang menyamai didunia ini, dalam separuh kesadaranku, hatiku terus bergemuruh menahan rasa sakit dan cinta yang membuat ku terlalu mengagungkannya. Ku buka mataku mengikuti detik waktu hingga wajahnya jelas terlihat dimataku. Lelaki terbaikku itu mengusap sisa – sisa air mataku dengan jarinya. Kami tak menciptakan satupun kata, hanya mata yang mengisyaratkan rasa cinta yang ada dihati masing – masing. Aku menyadari seberapa banyak waktu yang tersisa untuk ku bisa bersamanya, aku mungkin bukan orang yang kuat untuk menghadapi semua itu.
Seharusnya aku menghargai tiap detik yang berjalan, menjadikannya tak sia – sia. Tangan kami sudah saling mengenggam ketika kami sama – sama terbangun dari renungan.Ia menarik tubuhku dalam dekapannya, aku merengkuhnya dan menyembunyikan sebagian wajahku dibahunya, ku pejamkan mataku merasakan degup jantungnya.
“kamu tau kalau aku sayang sama kamu Dik, jangan seperti ini”, suaranya terdengar berat dan parau. Aku masih diam, ku hirup nafas ku sangat dalam, aroma tubuhnya yang wangi merasuki aliran darahku.
“aku selalu ada disamping kamu dik….. aku nggak meninggalkan kamu….”, lanjutnya, suaranya bertambah sendu, kurasakan tarikan putus – putus di antara nafasnya, ia menangis.
Aku melepaskan pelukan itu, ku tatap dirinya yang bertambah tulus dihadapanku. Matanya memerah, hatiku terenyuh melihat sikapnya. Aku tak pernah menyalahkannya untuk semua kenyataan ini dan aku tak pernah membencinya karena  ada sebuah kekuatan yaitu kami saling mencintai. Ku sunggingkan senyuman samar agar aku terlihat telah baik – baik saja.
“ma’afin aku ya…….”, ucapku pelan tapi kupastikan ia masih bisa mendengarnya.
“aku banyak salah sama kamu Dik, harusnya aku yang minta ma’af….”
“harusnya aku nggak seperti ini Mas, harusnya aku bersyukur kamu masih peduli sama aku…..”. seruku seperti orang yang berhati besar. Ia mendekatkan bibirnya untuk mencium keningku
“kamu tetap yang terindah dalam hidupku Dik…..”, ucapnya, deretan kata itu seperti bongkahan es yang mendinginkan ku. Aku luluh dalam lingkaran kedua tangannya.
Diluar hujan mulai turun, bukan lagi gerimis kecil – kecil. Aku sadar, tempatku sudah di tentukan. Aku tak akan menuntut lebih dari ini, cukup bagiku dia ada di dekatku dan masih mencintaiku. Aku abaikan seluruh rasa sakit dan kubangun sikap menerima dengan lapang apapun yang diberikan Tuhan kepadaku.
 “aku sudah tunangan Dik…”, ucap lelaki berhidung mancung itu beberapa waktu lalu, sekitar sebulan lalu. Saat itu kami menghabiskan waktu bersama, tak ada masalh, tapi ia mengungkapkan kejujuran yang justru membuat hatiku hancur dan robek begitu dalam. Aku diam, kami saling berpandangan.  Hatiku seperti mati rasa, mungkin karena terlalu sakit. Pita suaraku seperti terkunci, tak mampu mengeluarkan sepatah katapun, bisu.
“ma’afkan aku Dik …. Tapi aku harus jujur, aku nggak mungkin membohongimu terus menerus….”, jelasnya, satu sayatan lagi pada hatiku. Aku masih diam, bumi seakan berayun – ayun dan membuat tubuhku seperti tak bertulang. Ia menarikku kedadanya, disitulah tangisku tumpah tak terbendung lagi.
Aku tak bisa memarahinya atas semua yang telah dilakukannya terhadapku, aku tak mungkin mencaci maki dan membalasnya dengan kata – kata yang menyakitkan hatinya. Aku telah mencintainya, begitu mencintainya. Ia datang dan meyakinkanku atas rasa cinta dan keinginannya bersamaku dan aku menerimanya. Aku tak bisa menuntutnya tak seperti itu karena kenyataannya memang  seperti itu.  Dalam waktu yang singkat aku belajar menghargai sebuah kejujuran.
“kenapa kamu membohongiku selama ini mas Doni…..”, ratapku.
“ma’af Dik, tapi aku benar – benar sayang kamu…”, serunya dengan sedikit tekanan.
“aku juga sangat sayang sama mas…………”
“kenapa kamu nggak marah…. Tampar saja wajhku dik, aku pantas menerimanya… “ katanya sambil memegangi kedua pipiku, aku menggeleng.
“apa kamu juga mencintainya mas?”, tanyaku dengan suara yang kubuat sangat halus. Ia mengangguk.
“aku mencintainya dik, kami berhubungan sejak 4 tahun lalu…’, jawabnya. Hatiku terasa semakin perih.
“aku nggak bisa hidup tanpa kamu mas…..”.
Aku menubruknya, ku peluk erat dirinya. Entah kenapa aku begitu takut ia mengucapkan selamat tinggal padaku. Aku tak banyak memikirkan wanita itu, aku juga tak memikirkan bagaimana agar Mas Doni kumiliki seutuhnya.
Aku sadar seperti apa diriku, ini memang sesuatu yang sudah pantas untukku, tidak bisa lebih dari ini, ini yang paling baik. Bersyukur itu sulit ketika kita harus menanamkan rasa sabar dan keikhlasan, aku bersyukur tapi hatiku selalu merasa sakit. Banyak cara mensyukuri keadaan yang kita terima, aku bersyukur dengan tidak meminta lebih dari ini.
Aku telah mengenal wanita itu dari foto – fotonya, dia cantik. Dia wanita yang sangat beruntung. Mas Doni sangat mencintainya, mungkin dia bukan lelaki setia, tapi ia tak pernah meninggalkannya, dan itu adalah sebuah keberuntungan, aku sangat berharap ia bisa bersyukur seperti aku.
 Aku dan lelaki bermata elang itu masih duduk bersisian, kepalaku menempel pada pundaknya. Aku tak ingin memilikinya, tapi aku sangat takut kehilangannya. Gemuruh di dadaku masih belum reda, tak mudah menjadi aku.
“mas kemana satu minggu ini?”, tanyaku setelah lama terdiam.
“aku sedang ingin sendiri Dik….. ma’af membuat kamu seperti ini menunggu aku.”, jawabnya dengan suara basnya yang terdengar amat sejuk.
“aku takut kehilangan kamu mas, jangan tinggalin aku….”.
“sampai kapan kita akan seperti ini Dik?”.
Pertanyaannya membuat ku memalingkan pandangan ke wajahnya, matanya memancarkan rasa bimbang.
“sampai aku mati mas….”. ucapku pasti.
“jangan bicara seperti itu Dik, aku nggak suka kamu ngomong seakan – akan kamu mau mati, jangan buat aku takut….”. suaranya meninggi.
“aku nggak bisa hidup tanpa kamu mas, kalaupun kita harus berpisah, aku nggak mau kalau aku yang ditinggalkan, biar aku saja yang pergi pada saatnya nanti….”.
“jangan putus asa seperti itu Dik, kamu harus mengerti posisiku, aku sudah tunangan dan harus menikahinya, aku nggak tega menyakiti dia”.
“aku nggak meminta mas menyakiti atau meninggalkan dia, aku ngerti mas harus menikahi dia, aku tau aku disini siapa…. Aku….”.
Aku terhenti, ia menempelkan telunjuknya kebibirku. Di pegangnya sebelah pipiku, aku diam merasakan nafasnya yang berhembus diwajahku.
“jangan menangis lagi, mas nggak akan meninggalkan siapa – siapa….”. serunya.
Kalimatnya seakan menjadi penahan rasa sakit pada luka – luka dihatiku, aku sangat bahagia. Ku cium sebelah pipinya, ia tersenyum amat manis.
Lewat jendela terlihat gambar pelangi dilangit ujung sana, begitu indah. Tujuh warnanya bersisian dan tak saling berselisih, aku yakin kami pun bisa seperti itu walaupun berada di tempat yang sama. Merah lebih terang daripada hijau…. tapi hijau masih punya tempat disisi kuning sama seperti merah. Dan biarlah hari ini kuning dan hijau bersatu diantara senja yang singkat dan hilang saat tiba malam. Dan aku hanya meminta waktu senja saja untuk bersamanya, masih ada waktu malam, siang, pagi dan sore untuk ia kembali. Aku sangat mensyukuri senja yang kumiliki dan aku berjanji takkn mengambil lebih dari ini.  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar