Aku memandang dua botol minuman dingin di hadapanku. Ku rasakan berat kedua mata dan sakit di kepalaku. Entah mengapa aku berubah menjadi seorang wanita cengeng semenjak mengenal pria egois bernama Damar. Sungguh perasaan cintaku padanya terus menyiksaku.
“aku mohon Fa, beri aku kesempatan sekali lagi dan ini yang terakhir”, pintanya ketika menemuiku di sanggar tiga hari yang lalu.
Entah sudah berapa kali ia mengulang kata – kata itu. Dan entah berapa kali pula Damar mengingkarinya. Mungkin wanita lain takkan sekuat aku menghadapi tingkah laku yang tak karuan seperti tingkah lakunya. Terlalu cinta, yang membuatku selalu mengalah pada laki – laki itu. Saat itu aku tak menangis, mungkin sudah tak ada air mata yang bisa ku teteskan.
“Rifa…”,panggil Damar lagi. Ia menggenggam sebelah tanganku dan menatapku penuh harapan. Aku tak bergeming, ingatanku terus menayangkan semua penghianatannya. Sudah terlalu sering, dan kali ini aku menyerah.
“ma’afkan aku Mar, aku nggak bisa”, satu ucapan yang tak pernah kuutarakan sebelumnya meluncur berat dari bibirku. Damar beringsut, ia terlihat amat terkejut, mungin ia tak menyangka aku akan mengatakannya. Dia tahu aku sangat mencintainya. Aku melepas tangannya perlahan, aku menyunggingkan senyuman yang justru membentuk garis lengkung yang kurasa sangat sakit.
“kenapa Fa? Aku mencintaimu dan bukankah kamu juga mencintaiku?”, serunya dengan nada kecewa.
“aku emang mencintaimu, sampai sekarang pun aku masih seperti itu”, seruku mantap, aku tak pernah setegar ini apalagi berani mengutarakan hal itu.
“lalu apakah cinta nggak bisa membuatmu mema’afkanku?”, Damar menatapku lekat – lekat.
“aku telah mema’afkanmu jauh sebelum kamu memintanya. Aku merasa tak mampu meluluhkan dan mengimbangimu. Lalu apa artinya aku jika kita masih bersama?”.
“aku ngak bisa tanpa kamu Fa…”.
“bisa….pergilah,puaskanlah berganti cinta kecinta lain dan setelah kamu merasa puas, kamu akan mengerti bahwa cintakulah yang paling tulus. Aku menunggumu kembali nanti”.
“apa bedanya sekarang atau nanti?”.
“aku nggak pernah minta apapun dari kamu. Kali ini biarkan aku yang memilih jalan kita”, terangku.
Damar menunduk lemah,terlihat gurat penyesalan di wajahnya. Tapi inilah keputusanku.
Aku melirik jam ditangan kiriku, kali ini kutetapkan hati untuk menerimanya lagi. Cuup tiga hari aku belajar memberi kesempatan kepada Damar. Aku memang sangat mencintainya, aku mengumpulkan harapan untuknya agar bisa merubah kebiasan buruknya dan menjaga cinta yang kuberikan.
Aku melangkah menyusuri sepanjang koridor kampus. Sesekali aku menjawab sapaan teman – teman ku satu angkatan yang berpapasan denganku. Aku memantapkan langkahku untuk kembali menerima Damar, karena ku sadar aku membutuhkannya,
Pukul 1 siang, aku masih menunggunya ditaman belakan Fakultas Perikanan tempatku dan Damar janjian. Kebiasaan ngaret masih saja dia lakukan, bagaimana mungkin dia benar – benar berubah.
Sejurus ku melihat sosok yang tak asing bagiku. Dia menghampiriku dengan seulas senyum dibibirnya.laki – laki beralmamater Universitas Brawijaya itu kini ada dihadapanku.
“Satya”, pangilku setelah berhasil menemukan file namanya dalam ingatanku. Ia masih tersenyum dan menjajari duduk.
“apakabar kamu Fa?”, tanyanya.
“kelihatannya gimana?”.
“kelihatannya kurusan disbanding 2 tahun yang lalu waktu kita masih sama – sama di SMU 3…”,celotehnya sambil tertawa renyah.
Satya kakak kelasku saat di SMU, dulu pernah ada rasa suka diantara kami. Tapi hanya sebatas itu, cinta monyet itu tak berlanjut sampai kami menempuh jalur pendidikan yang berbeda.
“apa kamu nggak suka kalau aku kurus?”,tanyaku menggoda.
“aku selalu menerimamu apa adanya”.
“oh ya… mana buktinya?”.
“buktinya aku masih sendiri sampai sekarang”,ucapnya sambil tertawa menampakkan barisan giginya yang putih bersih.
Kata – kata Satya membuatku lupa pada perasaan sakit yang tengah ku rasakan. Ia masih selalu membuatku tersenyum seperti dulu. Kehadirannya selalu membahagiakanku dan tak pernah sekalipun membuatku terluka
“oh ya, mana bisa hal seperti itu meyakinkanku”, gurauku lagi.
“kalau begitu aku harus membuktikan dengan apa?”, tanyanya.
“datanglah kerumahku dan katakana pada orang tuaku bahwa kamu mencintaiku!”, seruku mantap. Aku dan Satya tertawa bersama. Satya memegangi pipi kiriku dan menatapku tak berkedip.
“baiklah, tunggu aku nanti malam!”, serunya.
Aku terdiam, tiba – tiba aku merasakan sesuatu yang sangat indah dari semua sikapnya. Semua gurauan yang baru saja terjadi hanyalah ungkapan yang samar, tapi aku melihat ketulusan di dirinya.
“hey, kok melamun?”, seru Satya lagi. Aku ersentak dan sedikit rikuh.
“oh, nggak kok, siapa yang ngelamun”, seruku gugup.
“ya udah, aku kekantor Rektorat dulu ya, mau antar undangan penting dari kampus”<, uangkapnya dan beranjak dari duduknya.
“iya”, jawabku singkat.
“sampai jumpa”, Satya mengucapkan salam perpisahan dan meninggalkanku. Ku ikuti dia dengan ekor matakudan di tikungan, ku lihat dia hamper bertabrakan dengan laki – laki yang amat ku kenal. Damar telah berada di hadapanku dengan nafas yang tidak teratur.
“ma’af Fa, aku terlambat. Tadi motorku bermasalah”, jelanya. Aku diamtanpa respon. Ku tatap dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Fa!”, panggilnya lagi.
Entah kenapa aku tak lagi merasakan keinginanku bertemu dengannya. Hatiku tiba – tiba mengeras dan sosok Damar menjadi sesuatu yang sangat mengerikan dihadapanku.
“aku mohon Fa, aku memang salah , tapi aku nggak bohong”,Damar menggenggam tanganku. Aku melepasnya perlahan.
“kali ini aku yang harus meminta ma’af. Dua menit yang lalu cinta pertamaku telah membawa cintaku pergi. Inilah keputusanku, aku nggak bias bersama kamu lagi”, jelasku. Kata – kata yang tak pernah ku rangkai sebelumnya meluncur manis dari bibirku. Damar tersentak.
“kenapa Fa?”.”aku sudah tidak mencintaimu Mar”, seruku dan aku tak berbohong.
“Rifa….ayo pulang sama – sama”, seru Satya yang tiba – tiba hadir diantara kami. Reflex ku gandeng tangannya, Damar masih tampak terkejut dan takmenyangka dengan apa yang aku lakukan.
“ini Satya, kami berdua saling mencintai”, seruku mantap. Mereka berdua memandangku lekat – lekat. Ku ambil keputusan akhir, ku ulurkan tangan sebagai salam perpisahan kepada Damar. Dammar menyam butnya tanpa sepatah katapun.
“sampai disini pertemuan kita kali ini Mar, selamat tinggal”,lanjutku. Aku melangkah meninggalkannya bersama Satya, kupalingkan wajah setelah beberapa langkah dariya, aku melihat Damar menangis.
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar