Mendung
masih menggantung dilangit, rintik – rintik hujan terlihat menetes kecil –
kecil. Pemakaman telah usai beberapa jam lalu, rumah nomor 42 itu mulai
terlihat lengang, hanya ada beberapa anggota keluarga dan tetangga dekat yang
tinggal. Gadis kecil berumur 9 tahun itu telah tiada, foto dengan frame besar
masih terpajang diruang tamu sebagai pengenang raut wajah polosnya. Maya,
ibunya, terduduk dilantai beralas permadani, menyandarkan punggungnya di
dinding dengan pandangan kosong, matanya sembab, hanya tinggal sisa – sisa air
mata ditepian matanya. Ia wanita yang tegar, hatinya ikhlas merelakan putri kecilnya pergi untuk selamanya.
Bagi
seorang ibu, anak adalah separuh kehidupannya. Begitu pulalah yang di rasakan
Maya, Hanisa adalah hartanya yang paling berharga di dunia ini. Ia membesarkan
Hanisa sendirian, segala kepedihan, kesusahan dan perjuangan telah di lewatinya
tanpa orang – orang yang seharusnya bersamanya.
Seorang
laki – laki berwajah cukup tampan di usianya yang mungkin sudah kepala tiga dan tampak sangat
berwibawa menghampiri ibu yang baru saja kehilangan putrinya itu. Di sentuhnya
bahu Maya, ada wajah penuh penyesalan yang memancar diantara dua matanya yang
iba menatap Maya, ia adalah Muhammad
Prayoga, seorang Gubernur yang dikenal sangat peduli dengan masyarakat
daerahnya.
“ma’afkan
aku May……… “, ucap pria terhormat itu lirih.
Maya tak
merespon, air matanya malah kembali mengalir dari matanya yang besar dan indah. Hatinya beku, laki – laki yang
kini di sampingnya telah lama dianggapnya tak pernah ada, dia telah lama mati
dalam hati Maya. 9 tahun bukanlah waktu yang singkat dan bukan saat yang mudah
bagi wanita yang harus menanggung beban seorang diri dengan beribu cercaan dan
makian dari orang – orang di sekelilingnya, luka telah membuat hati seorang
wanita mengeras bahkan untuk permintaan
ma’af yang sangat tulus sekalipun.
Pak
gubernur yang lebih suka dipanggil dengan nama kecilnya sebagai Yoga itu
menunduk , dihelanya nafas panjang beberapa kali, Maya tak juga bergeming.
Betapapun wanita malang didekatnya itu adalah wanita yang amat di cintainya. Telah
lama ia menanti saat ketika tangannya bisa menyentuh kembali tubuh wanita luar
biasa yang tak pernah lekang di hatinya itu, cintanya selalu terjaga hanya
untuk anggrek bulan yang lama hilang dari hidupnya. Kini kembang itu kembali,
tapi ia telah berubah menjadi putri malu berduri yang menutup rapat – rapat dirinya
saat tersentuh lagi oleh tangannya meskipun itu dengan kesungguhan yang
terdalam dari hatinya. Maya masih seperti 9 tahun yang lalu, teguh, kuat dan keras
hati, yang berbeda kini…. Yoga tak bisa menyentuh hatinya lagi.
“Anak itu
titipan May, sudah seharusnya kita merelakannya dengan ikhlas…..”, lanjut Yoga
dengan rentetan kata bernada halus dari bibirnya.
“tau apa
kamu tentang ikhlas dan arti seorang anak bagi orang tua yang membesarkannya…”,
respon Maya dingin. Yoga memandangnya dalam, hatinya berkecamuk, ia mungkin
laki – laki paling nista di hadapan Maya.
“aku tau
May, tapi Halisa adalah anak kita……. “,jawab Yoga masih dengan intonasi rendah.
“apakah
bagimu dengan menikahi ibunya sebelum ia pergi dari dunia ini itu cukup untuk
menjadi seorang ayah”, mata Maya merebak, hatinya amat sakit.
“ma’afkan
aku May, aku tau walaupun aku bersujud di kakimu takkan mampu mengobati semua
rasa sakit yang kamu rasakan. Tapi apa yang telah terjadi bukanlah keinginan ku….”,
jelas Yoga.
“Bapak gubernur yang saya hormati, saya juga
tidak pernah menginginkan menjadi perempuan yang hamil di luar nikah dan
membesarkan anak seorang diri selama 9 tahun”, Maya menatap Yoga dengan tatapan menuntut, semua yang telah di
laluinya membuat nya tak bisa menerima apapun kata –kata dari mulut Yoga.
“kamu yang
membohongiku May…… saat itu kamu bilang kalau kamu akan menggugurkan kandunganmu….”,.
“aku tidak
berkata seperti itu, aku hanya bilang kalau masalahmu akan teratasi….”.
“tapi
kenapa…., aku mencarimu May……sungguh”. Yoga menggenggam tangan maya.
“bukankah
saat itu kamu harus mengejar cita – citamu, menjadi orang besar, menjadi
pemimpin, menjadi kebanggaan orang tuamu?”, Maya terisak.
“Maya……..”,
“Sekarang
semua yang kamu inginkan sudah terwujud……, tapi aku bukan bagian dari cita –
cita hidupmu”. Lanjut Maya, suaranya melemah.
“kamu
menghilang May, kamu putus semua jaringan, aku tidak bisa menemukan kamu….”,
Yoga sedikit berani membela diri.
“Lalu
apakah kamu mau kehilangan masa depanmu jika aku tidak hilang? Bukankah kamu
lebih rela menyuruhku aborsi daripada menikah denganku”, suara Maya kembali
meninggi, luka di hatinya terasa kembali perih.
“aku tau
aku salah May, untuk itu aku meminta ma’afmu,
aku terima semua yang akan kamu lakukan terhadapku asal itu bisa menggantikan
semua rasa sakitmu”, ucap Yoga sungguh – sungguh.
“tidak ada
yang bisa menggantikan rasa sakitku,”
“kita sudah
menikah…. Tidakkah bisa kamu memberi kesempatan untukku mencoba memperbaiki semuanya?”.
“bukan aku
yang menginginkan pernikahan ini…. Semua ku lakukan untuk kebahagiaan Halisa di
sisa hidupnya….”.
“Maya,
Halisa pasti akan terluka di alam sana dengan sikapmu ini…..” Yoga berusaha
membuka hati Maya,
Maya
beranjak dari duduknya, perasaannya tak menentu. Di tinggalkannya Yoga yang
masih terpaku dalam rasa penyesalan dan harapannya akan kembalinya cinta Maya.
Rumah sederhana
bercat kuning itu lengang, 3 hari telah berlalu sejak Halisa meninggal dunia.
Maya menolak untuk tinggal di rumah gedung gubernur, ia keukeuh untuk tetap
tinggal dirumahnya. Hati Maya belum juga melunak, ia benar – benar sulit
menerima kehadiran Yoga kembali dalam hidupnya meskipun mereka telah menikah.
Jabatan besar sebagai gubernur Banten tidak membuat Yoga merasa harus
mempertahankan harga diri yang tinggi, baginya kesalahan adalah sesuatu yang
harus digantikan. Maya adalah cinta pertamanya, mereka menjalin hubungan sejak
SMA sampai menjelang masuk Perguruan Tinggi, mereka melewati batas sebagai pasangan yang
belum terikat perkawinan, Maya hamil, tapi saat itu Yoga benar – benar bingung
dengan semua kenyataan itu. Ayahnya yang juga orang penting dalam pemerintahan
daerah Banten sangat menginginkan dirinya bisa menjadi orang besar, tiket
pesawat menuju California dan menempuh study di sebuah Universitas di sana
memaksanya memilih, belumsempat ia menetapkan pilihannya, Maya lebih dulu memilih meninggalkannya. Kini, jabatan
sebagai gubernur tidaklah begitu penting untuknya, dengan sabar ia tetap
menemui Maya meskipun ia harus tinggal di rumah yang tidak serupa dengan rumah
seorang gubernur.
Maya
terduduk di kursi rotan yang menghadap persis ke kolam ikan buatan yang
terdapat air mancur dngan gemericik gaduh. Ia masih merasakan betapa pedihnya
saat – saat berat dalam hidupnya, sulit menghapus ingatan masa suram itu dari
pikirannya. Bagaimana ia hamil dan orang – orang menganggapnya wanita murahan,
cibiran, cercaan.. bagaimana ia membesarkan Halisa dengan jerih payah dan kerja
kerasnya sendiri, bagimana ia harus menerima kenyataan bahwa Halisa mengidap
penyakit kanker otak, bagaimana ia harus kehilangan putri satu – satunya sekaligus
permata dalam hidupnya. Apakah dia harus mengatakan bahwa ia sangat membenci
pria itu?, hatinya begitu mendendam, luka itu sngat parah.
Prayoga
menemuinya disana dengan senyum yang mengembang di bibirnya, Maya hanya
menatapnya dengan ekor matanya.
“sudah
makan May??”, Tanya pria teguh di hadapannya.
“Aku ingin
bercerai”. Ucap Maya tegas, Yoga tampak terkejut.
“Maya, katakana
saja apa yang harus aku lakukan agar membuatmu mema’afkanku….”, seru Yoga
tenang, meskipun hatinya sedih dan risau.
“itulah
yang membuatku mema’afkanmu”.
“jangan
mendustai hatimu”.
“aku tidak
penah berdusta untuk kepedihan yang aku rasakan”.
“aku sangat
mencintaimu May, tidak ada perempuan lain di hatiku”.
“aku sangat
membencimu, bahkan orang yang paling aku benci ddunia ini”.
“aku tidak
akan menceraikanmu”
“kalau
begitu aku tidak akan pernah mema’afkanmu”.
“aku akan
melakukan apapun agar kamu memahami semuanya, akan ku pertaruhkan segalanya,
harga diriku, kehormatan bahkan nyawaku sendiri”.
“akan ku
siapkan surat gugatan cerai segera”,paksa Maya, ia beranjak dan meninggalkan
laki – laki sabar yang tengah menata hatinya. Maya benar – benar teguh, luka
membuatnya meletakkan keegoisan ketempat tertinggi.
Pemerintahan
Daerah provinsi Banten akan mengadakan aacara peringatan ulang tahun Banten.
Gubernur daerah seyogyanya akan tampil untuk berpidato dan menyapa masyarakat
Banten. Muhammad Prayoga mengerutkan keningnya menjelang pidatonya, hanya ada bayang
– bayang wanita berhati batu itu di pelupuk matanya. Kata – kata Maya terus
terngiang di telinganya, ia begitu takut kehilangan wanita yang amat
dicintainya untuk yang kesekian kali. Hidupnya kini hanya tertuju pada Maya,
istri yang di nikahinya seminggu lalu untuk putrinya.
Kamera
wartawan berkilat – kilat menuju tubuh tegap bapak gubernur yang siap menuju
mimbar kebesarannya, semua media masa, pers bahkan masyarakat Banten kini ada
dihadapannya untuk mendengarkan pidato orang kebanggaan mereka. Muhammad
Prayoga mengulas senyum simpul, Maya Purnama juga mungkin tengah melihatnya di televisi.
“hadirin
dan seluruh masyarakat Banten yang saya hormati…..”ucap Pak gubernur membuka
pidato.
“saya
berdiri disini sebagai orang biasa, bukan lah seorang gubernur atau wakil
pemerintahan Banten….”.
“saya telah
brpikir masak – masak untuk keputusan saya ini. Bersamaan dengan berakhirnya
pidato saya nanti, saya siap untuk di copot dari jabatan saya”.
Semua mata
menatap penuh rasa heran, bagaimana mungkin seorang gubernur melakukan pidato
yang tidak layak seperti itu.
“saya hanya
ingin mengakui satu kesalahan terbesar saya di hadapan semua masyarakat dan
semoga ini bisa menebus semuanya. Saya
pernah menyakiti seorang wanita dalam hidup saya.”, Yoga menghentikan ucapanya
sejenak, di teguhkannya hatinya.
“saya jga
pernah memiliki seoang putri di luar ikatan perkawinan. Saya menyia – nyiakan wanita
yang telah mengandung anak saya hingga dia harus menanggung beban hidup seorang
diri. Dihadapan semua masyarakat, saya katakan siapa saya sebenarnya. Saya tidak memikirkan jabatan saya sebagai
gubernur Banten lagi, saya mungkin tidak begitu pantas untuk menjabatnya karena
saya adalah orang yang gagal dalam kehidupan. Pengakuan ini saya tujukan untuk
istri saya yang saya cintai, Maya Purnama, ma’afkan semua kesalahan saya”.
Sejenak
orang – orang di sekitar panggung kebearan tampak tercengang, Muhamma Prayoga
tersenyum, para wartawan semakin gencar mengambil gambarnya, ini adalah berita
paling besar dalam periode sejarah, dial ah satu – satunya gubernur yang berani
dan sangat tidak memikirkan kehormatan dan wibawanya sebagai orang penting . Mungkin
para wartawan itu akan menulis judul besar di Koran – korannya “Gubernur Banten
Akui Hamili wanita dan Siap di Copot”.
“Terimakasih,
salam sejahtera untuk masyarat Banten, Dirgahayu”, Muhammad Prayoga menutup
pidatonya. Tak disangka, para hadirin menyambutnya dengan tepuk tangan dan
sorak sorai yang membahana, ada banyak orang yang kagum pada sikap berani pak
gubernur dan tak sedikit yang menganggapnya nyeleneh. Dengan langkah pasti,
Yoga turun dari mimbar kebesarannya.
Mobil
verary abu – abu milik Yoga akhirnya lolos dari kejaran wartawan yang masih
penasaran dan masih sibuk berburu informasi untuk berita terhangat mereka.
Perasaan pria itu masih tak menentu, ia memang tak memikirkan harga dirinya
lagi, mungkin begitulah yang di rasakanMaya ketika harus mengorbankan harga
dirinya dan dicap sebagai wanita murahan saat mengandung.
Muhammad
Prayoga sang gubernur itu melihat wanita yang semakin tampak ayu di depan pintu,
perlahan di dekatinya pemilik rambut panjang dan ikal yang memiliki kulit putih
bersih itu. Pandangannya sayu, lurus seakan menembus jantung Yoga, kini mereka
berhadap – hadapan. Empat mata mereka sling berpandangan, diam, bisu……
Maya meraih
tubuh Yoga seiring isak tangisnya, ketika hati mulai bicara, maka kekuatan
cinta meluruhkan semua rasa benci di dalam hati. Yoga memeluk erat wanita itu,
matanya pun ingin menangis, walaupun ia seorang lelaki.