Senin, 26 Maret 2012

Ketika Hati Bicara Rasa

Mendung masih menggantung dilangit, rintik – rintik hujan terlihat menetes kecil – kecil. Pemakaman telah usai beberapa jam lalu, rumah nomor 42 itu mulai terlihat lengang, hanya ada beberapa anggota keluarga dan tetangga dekat yang tinggal. Gadis kecil berumur 9 tahun itu telah tiada, foto dengan frame besar masih terpajang diruang tamu sebagai pengenang raut wajah polosnya. Maya, ibunya, terduduk dilantai beralas permadani, menyandarkan punggungnya di dinding dengan pandangan kosong, matanya sembab, hanya tinggal sisa – sisa air mata ditepian matanya. Ia wanita yang tegar, hatinya ikhlas merelakan  putri kecilnya pergi untuk selamanya.
Bagi seorang ibu, anak adalah separuh kehidupannya. Begitu pulalah yang di rasakan Maya, Hanisa adalah hartanya yang paling berharga di dunia ini. Ia membesarkan Hanisa sendirian, segala kepedihan, kesusahan dan perjuangan telah di lewatinya tanpa orang – orang yang seharusnya bersamanya.
Seorang laki – laki berwajah cukup tampan di usianya yang  mungkin sudah kepala tiga dan tampak sangat berwibawa menghampiri ibu yang baru saja kehilangan putrinya itu. Di sentuhnya bahu Maya, ada wajah penuh penyesalan yang memancar diantara dua matanya yang iba menatap Maya, ia adalah Muhammad  Prayoga, seorang Gubernur yang dikenal sangat peduli dengan masyarakat daerahnya.
“ma’afkan aku May……… “, ucap pria terhormat itu lirih.
Maya tak merespon, air matanya malah kembali mengalir dari matanya yang  besar dan indah. Hatinya beku, laki – laki yang kini di sampingnya telah lama dianggapnya tak pernah ada, dia telah lama mati dalam hati Maya. 9 tahun bukanlah waktu yang singkat dan bukan saat yang mudah bagi wanita yang harus menanggung beban seorang diri dengan beribu cercaan dan makian dari orang – orang di sekelilingnya, luka telah membuat hati seorang wanita  mengeras bahkan untuk permintaan ma’af yang sangat tulus sekalipun.
Pak gubernur yang lebih suka dipanggil dengan nama kecilnya sebagai Yoga itu menunduk , dihelanya nafas panjang beberapa kali, Maya tak juga bergeming. Betapapun wanita malang didekatnya itu adalah wanita yang amat di cintainya. Telah lama ia menanti saat ketika tangannya bisa menyentuh kembali tubuh wanita luar biasa yang tak pernah lekang di hatinya itu, cintanya selalu terjaga hanya untuk anggrek bulan yang lama hilang dari hidupnya. Kini kembang itu kembali, tapi ia telah berubah menjadi putri malu berduri yang menutup rapat – rapat dirinya saat tersentuh lagi oleh tangannya meskipun itu dengan kesungguhan yang terdalam dari hatinya. Maya masih seperti 9 tahun yang lalu, teguh, kuat dan keras hati, yang berbeda kini…. Yoga tak bisa menyentuh hatinya lagi.
“Anak itu titipan May, sudah seharusnya kita merelakannya dengan ikhlas…..”, lanjut Yoga dengan rentetan kata bernada halus dari bibirnya.
“tau apa kamu tentang ikhlas dan arti seorang anak bagi orang tua yang membesarkannya…”, respon Maya dingin. Yoga memandangnya dalam, hatinya berkecamuk, ia mungkin laki – laki paling nista di hadapan Maya.
“aku tau May, tapi Halisa adalah anak kita……. “,jawab Yoga masih dengan intonasi rendah.
“apakah bagimu dengan menikahi ibunya sebelum ia pergi dari dunia ini itu cukup untuk menjadi seorang ayah”, mata Maya merebak, hatinya amat sakit.
“ma’afkan aku May, aku tau walaupun aku bersujud di kakimu takkan mampu mengobati semua rasa sakit yang kamu rasakan. Tapi apa yang telah terjadi bukanlah keinginan ku….”, jelas Yoga.
 “Bapak gubernur yang saya hormati, saya juga tidak pernah menginginkan menjadi perempuan yang hamil di luar nikah dan membesarkan anak seorang diri selama 9 tahun”, Maya menatap Yoga  dengan tatapan menuntut, semua yang telah di laluinya membuat nya tak bisa menerima apapun kata –kata dari mulut Yoga.
“kamu yang membohongiku May…… saat itu kamu bilang kalau kamu  akan menggugurkan kandunganmu….”,.
“aku tidak berkata seperti itu, aku hanya bilang kalau masalahmu akan teratasi….”.
“tapi kenapa…., aku mencarimu May……sungguh”. Yoga menggenggam tangan maya.
“bukankah saat itu kamu harus mengejar cita – citamu, menjadi orang besar, menjadi pemimpin, menjadi kebanggaan orang tuamu?”, Maya terisak.
“Maya……..”,
“Sekarang semua yang kamu inginkan sudah terwujud……, tapi aku bukan bagian dari cita – cita hidupmu”. Lanjut Maya, suaranya melemah.
“kamu menghilang May, kamu putus semua jaringan, aku tidak bisa menemukan kamu….”, Yoga sedikit berani membela diri.
“Lalu apakah kamu mau kehilangan masa depanmu jika aku tidak hilang? Bukankah kamu lebih rela menyuruhku aborsi daripada menikah denganku”, suara Maya kembali meninggi, luka di hatinya terasa kembali perih.
“aku tau aku salah May, untuk itu aku meminta  ma’afmu, aku terima semua yang akan kamu lakukan terhadapku asal itu bisa menggantikan semua rasa sakitmu”, ucap Yoga sungguh – sungguh.
“tidak ada yang bisa menggantikan rasa sakitku,”
“kita sudah menikah…. Tidakkah bisa kamu memberi kesempatan untukku  mencoba memperbaiki semuanya?”.
“bukan aku yang menginginkan pernikahan ini…. Semua ku lakukan untuk kebahagiaan Halisa di sisa hidupnya….”.
“Maya, Halisa pasti akan terluka di alam sana dengan sikapmu ini…..” Yoga berusaha membuka hati Maya,
Maya beranjak dari duduknya, perasaannya tak menentu. Di tinggalkannya Yoga yang masih terpaku dalam rasa penyesalan dan harapannya akan kembalinya cinta Maya.
Rumah sederhana bercat kuning itu lengang, 3 hari telah berlalu sejak Halisa meninggal dunia. Maya menolak untuk tinggal di rumah gedung gubernur, ia keukeuh untuk tetap tinggal dirumahnya. Hati Maya belum juga melunak, ia benar – benar sulit menerima kehadiran Yoga kembali dalam hidupnya meskipun mereka telah menikah. Jabatan besar sebagai gubernur Banten tidak membuat Yoga merasa harus mempertahankan harga diri yang tinggi, baginya kesalahan adalah sesuatu yang harus digantikan. Maya adalah cinta pertamanya, mereka menjalin hubungan sejak SMA sampai menjelang masuk Perguruan Tinggi,  mereka melewati batas sebagai pasangan yang belum terikat perkawinan, Maya hamil, tapi saat itu Yoga benar – benar bingung dengan semua kenyataan itu. Ayahnya yang juga orang penting dalam pemerintahan daerah Banten sangat menginginkan dirinya bisa menjadi orang besar, tiket pesawat menuju California dan menempuh study di sebuah Universitas di sana memaksanya memilih, belumsempat ia menetapkan pilihannya, Maya lebih dulu  memilih meninggalkannya. Kini, jabatan sebagai gubernur tidaklah begitu penting untuknya, dengan sabar ia tetap menemui Maya meskipun ia harus tinggal di rumah yang tidak serupa dengan rumah seorang gubernur.
Maya terduduk di kursi rotan yang menghadap persis ke kolam ikan buatan yang terdapat air mancur dngan gemericik gaduh. Ia masih merasakan betapa pedihnya saat – saat berat dalam hidupnya, sulit menghapus ingatan masa suram itu dari pikirannya. Bagaimana ia hamil dan orang – orang menganggapnya wanita murahan, cibiran, cercaan.. bagaimana ia membesarkan Halisa dengan jerih payah dan kerja kerasnya sendiri, bagimana ia harus menerima kenyataan bahwa Halisa mengidap penyakit kanker otak, bagaimana ia harus kehilangan putri satu – satunya sekaligus permata dalam hidupnya. Apakah dia harus mengatakan bahwa ia sangat membenci pria itu?, hatinya begitu mendendam, luka itu sngat parah.
Prayoga menemuinya disana dengan senyum yang mengembang di bibirnya, Maya hanya menatapnya dengan ekor matanya.
“sudah makan May??”, Tanya pria teguh di hadapannya.
“Aku ingin bercerai”. Ucap Maya tegas, Yoga tampak terkejut.
“Maya, katakana saja apa yang harus aku lakukan agar membuatmu mema’afkanku….”, seru Yoga tenang, meskipun hatinya sedih dan risau.
“itulah yang membuatku mema’afkanmu”.
“jangan mendustai hatimu”.
“aku tidak penah berdusta untuk kepedihan yang aku rasakan”.
“aku sangat mencintaimu May, tidak ada perempuan lain di hatiku”.
“aku sangat membencimu, bahkan orang yang paling aku benci ddunia ini”.
“aku tidak akan menceraikanmu”
“kalau begitu aku tidak akan pernah mema’afkanmu”.
“aku akan melakukan apapun agar kamu memahami semuanya, akan ku pertaruhkan segalanya, harga diriku, kehormatan bahkan nyawaku sendiri”.
“akan ku siapkan surat gugatan cerai segera”,paksa Maya, ia beranjak dan meninggalkan laki – laki sabar yang tengah menata hatinya. Maya benar – benar teguh, luka membuatnya meletakkan keegoisan ketempat tertinggi.
Pemerintahan Daerah provinsi Banten akan mengadakan aacara peringatan ulang tahun Banten. Gubernur daerah seyogyanya akan tampil untuk berpidato dan menyapa masyarakat Banten. Muhammad Prayoga mengerutkan keningnya menjelang pidatonya, hanya ada bayang – bayang wanita berhati batu itu di pelupuk matanya. Kata – kata Maya terus terngiang di telinganya, ia begitu takut kehilangan wanita yang amat dicintainya untuk yang kesekian kali. Hidupnya kini hanya tertuju pada Maya, istri yang di nikahinya seminggu lalu untuk putrinya.  
Kamera wartawan berkilat – kilat menuju tubuh tegap bapak gubernur yang siap menuju mimbar kebesarannya, semua media masa, pers bahkan masyarakat Banten kini ada dihadapannya untuk mendengarkan pidato orang kebanggaan mereka. Muhammad Prayoga mengulas senyum simpul, Maya Purnama juga mungkin tengah melihatnya di televisi.
“hadirin dan seluruh masyarakat Banten yang saya hormati…..”ucap Pak gubernur membuka pidato.
“saya berdiri disini sebagai orang biasa, bukan lah seorang gubernur atau wakil pemerintahan Banten….”.
“saya telah brpikir masak – masak untuk keputusan saya ini. Bersamaan dengan berakhirnya pidato saya nanti, saya siap untuk di copot dari jabatan saya”.
Semua mata menatap penuh rasa heran, bagaimana mungkin seorang gubernur melakukan pidato yang tidak layak seperti itu.
“saya hanya ingin mengakui satu kesalahan terbesar saya di hadapan semua masyarakat dan semoga ini bisa menebus semuanya.  Saya pernah menyakiti seorang wanita dalam hidup saya.”, Yoga menghentikan ucapanya sejenak, di  teguhkannya hatinya.
“saya jga pernah memiliki seoang putri di luar ikatan perkawinan. Saya menyia – nyiakan wanita yang telah mengandung anak saya hingga dia harus menanggung beban hidup seorang diri. Dihadapan semua masyarakat, saya katakan siapa saya sebenarnya.  Saya tidak memikirkan jabatan saya sebagai gubernur Banten lagi, saya mungkin tidak begitu pantas untuk menjabatnya karena saya adalah orang yang gagal dalam kehidupan. Pengakuan ini saya tujukan untuk istri saya yang saya cintai, Maya Purnama, ma’afkan semua kesalahan saya”.
Sejenak orang – orang di sekitar panggung kebearan tampak tercengang, Muhamma Prayoga tersenyum, para wartawan semakin gencar mengambil gambarnya, ini adalah berita paling  besar dalam periode sejarah,  dial ah satu – satunya gubernur yang berani dan sangat tidak memikirkan kehormatan dan wibawanya sebagai orang penting . Mungkin para wartawan itu akan menulis judul besar di Koran – korannya “Gubernur Banten Akui Hamili wanita dan Siap di Copot”.
“Terimakasih, salam sejahtera untuk masyarat Banten, Dirgahayu”, Muhammad Prayoga menutup pidatonya. Tak disangka, para hadirin menyambutnya dengan tepuk tangan dan sorak sorai yang membahana, ada banyak orang yang kagum pada sikap berani pak gubernur dan tak sedikit yang menganggapnya nyeleneh. Dengan langkah pasti, Yoga turun dari mimbar kebesarannya.
Mobil verary abu – abu milik Yoga akhirnya lolos dari kejaran wartawan yang masih penasaran dan masih sibuk berburu informasi untuk berita terhangat mereka. Perasaan pria itu masih tak menentu, ia memang tak memikirkan harga dirinya lagi, mungkin begitulah yang di rasakanMaya ketika harus mengorbankan harga dirinya dan dicap sebagai wanita murahan saat mengandung.
Muhammad Prayoga sang gubernur itu melihat wanita yang semakin tampak ayu di depan pintu, perlahan di dekatinya pemilik rambut panjang dan ikal yang memiliki kulit putih bersih itu. Pandangannya sayu, lurus seakan menembus jantung Yoga, kini mereka berhadap – hadapan. Empat mata mereka sling berpandangan, diam, bisu……
Maya meraih tubuh Yoga seiring isak tangisnya, ketika hati mulai bicara, maka kekuatan cinta meluruhkan semua rasa benci di dalam hati. Yoga memeluk erat wanita itu, matanya pun ingin menangis, walaupun ia seorang lelaki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar