Selasa, 24 Januari 2012

Harta Paling Berharga

Hidup itu dimulai dari bangun tidur sampai kembali tidur. Ada nilai setiap harinya sampai di nilai kumulatif terakhir saat kita harus mengakhiri kehidupan ini. Ada juga yang bilang kalau hidup itu dimulai ketika pertama kali kita membuka mata dan melihat dunia, itu bagi kita yang punya mata..... spesifik dan aku lebih setuju dengan yang pertama. Semua orang punya sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya, ada yang punya kucing persia, bantal doraemon atau yang populer adalah "nyawa". Nyawa memang tanda dari kehidupan, tapi yang paling berharga dalam hidup ku hanyalah ibu. Ibu lebih berharga dari nyawaku, ibu adalah kehidupanku.

Pikiran ku sedikit kacau ketika tiba di rumah, ada jarak setelah bertahun - tahun kami terpisah. Lima  tahun aku menempuh pendidikan melalui beasiswa di Singapore Management University, meninggalkan ibu seorang diri, berat, tapi aku kembali dengan gelar sarjana ku yang ku dapat dari hasil jerih payahku sendiri tanpa sepeserpun dari uang ibu. Gelar dibelakang nama ku ini ku hadiahkan untuk ibu, satu langkah membuat ibu bangga dan bahagia, memang belum cukup dan aku terus berusaha mendapatkan yang lebih dari yang kudapat sekarang.

Sulit dimengerti, ketika kita dihadapkan dengan keadaan yang menyangkut kefanatikan dan kepercayaan. Aku merasa dipisahkan lebih jauh dengan ibu ketika akhirnya aku berada di dekatnya. Dua hari di Bandung, aku sama sekali belum makan dirumah, makan makanan ibu, aku bingung. Aku sangat faham bahwa riba' adalah haram hukumnya dalam agamaku, menikmati hasilnya saja sudah haram apalagi melakukan perbuatannya, tapi kata ibu.......

"ibu hanya ambil bunga 7% Sarah, lagipula itu tidak memberatkan mereka yang berhutang pada ibu".jelas ibu.

Aku hanya bisa diam, aku tidak ingin melukai hati ibu. Ternyata sudah dua tahun lebih semenjak pensiun ibu melakoni kegiatan ini, meminjamkan uang kepada orang - orang yang membutuhkan, kemudian menetapkan bunga terhadap hutang itu. Didalam kamarku, aku tidak menyalakan televisi dan lampu, aku tidak ingin agamaku dikotori oleh sesuatu yang tidak halal, tapi tanpa harus melukai ibu. Aku mencari berbagai alasan untuk makan dan mandi dluar,benar - benar tidak seperti dirumah ibu, terasa begitu tinggi hijab diantara kami dan aku tak kuasa menyibaknya untuk menemui ibu ku yang dulu.

Dirumah Fani sahabatku, aku numpang mandi dan makan. Fani mendengarkan betapa beratnya ketika aku harus memikirkan keduanya, orang yang ku sayangi dan rasa patuhku terhadap Tuhan. Hasilnya, sejak semalam aku merasa mual dan sedikit pusing. Sejak pagi pun, aku baru mengisi perutku dengan sepiring nasi rames, tapi hanya kumakan separuh. Mendadak perutku tidak bisa beradaptasi dengan makanan,sakit sekali. Aku selalu menghindar jika ibu mengajakku makan, tidak tega, tapi aku tidak punya pilihan, ma'af ibu. Fani mengerti dengan keadaanku, ia juga tentunya tahu banyak tentang apa yang salah dalam hal ini, tapi hanya itu yang bisa ia lakukan, karena selebihnya kembali pada perasaan ibu lah semuanya.

Aku pulang larut malam, ibu menungguku dikursi ruang tamu dengan wajah khawatir. Aku menghampirinya dengan perasaan tertekan, entah karena apa.... aku beguitu merindukan ibu yang hanya seorang guru SD.

"dariman saja Sarah....?", tanya ibu lembut. Aku duduk disisnya.

"dari rumah Fani bu, ma'af ya Sarah pulang terlambat,",jawabku sambil menyunggingkan senyum.

"ya sudah kamu makan dulu ya....", suruh ibu.

"kebetulan tadi Fani masak enak bu, jadi Sarah sekalian diajak makan. Ma'af ya bu...", tolakku dengan nada sehalus mungkin tanpa harus menyinggung perasaan ibu.

"ya sudah, tapi dua hari disini kamu sama sekali belum makan dirumah..., "

"iya, kebetulan Sarah selalu makan sama Fani bu, kemarin juga ada acara reuni kan.....". ucapku. Ibu mengangguk.

"ya sudah, sana mandi terus tidur".

"Sarah tadi mandi sekalian disana bu, langsung tidur aja deh",terangku.

Dikamar, aku menangis. Rasanya hatiku hancur setiap melihat wajah ibu, aku tak kuasa menuntut ibu membuang semua yang ada dirumah ini, membuang semua yang haram, ini miliknya dan selama ini akupun tidak menghidupinya agar bertahan hidup dengan yang halal, aku belum mampu. Aku tidak tidur diatas tempat tidur yang sprei nya sudah diganti dengan yang baru, itu bukan milikku. Listrik, ledeng, makanan diatas meja makan, dikulkas, semuanya haram bagiku, dan selamnya aku tidak akan menyentuhnya. Aku tersiksa dalam perasaanku sendiri, dalam keheningan malam yang semakin larut, ku buka buku kumpulan hadist yang aku pelajari sejak remaja.

“Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba)nya” (HR Ibnu Majah, HR Sunan Abu Dawud, HR. al-Nasa’i dari Abu Hurairah).
Tangisku tumpah, sesenggukan, sakit sekali dada ini, sesak dan sedih. Aku bersujud memohon agar Tuhan memberikan jalan dan membuka pintu hati ibu. Aku bermunajat dengan sisa kekuatanku dari segenap rasa cintaku kepada ibu, rasa hormatku kepadanya membuatku lemah dihadapanya.

Ibu membangunkanku,aku tergeletak dilantai beralaskan sejadah. Tatapannya penuh rasa khawatir, ibu meraih tubuhku dan membiarkan kepalaku bersandar didadanya. Mataku berat, bengkak seperti tomat matang, lemah, aku tak kuasa berkata - kata, hanya sakit dikepala dan perut yang kurasakan, gelap.

Kubuka mata perlahan, ada infus dan ruangan bercat putih, dan ibu. Tubuhku lemas, kepalaku pun masih terasa sangat berat. Ibu mengelus rambutku.

"kamu pingsan, jadi ibu langsung bawa kerumah sakit, kata dokter harus opname", jelas ibu

"ma'af bu, Sarah merepotkan ibu", ucapku lemah. perutku nyeri dan mata ini seperti enggan untuk dibuka.

"kamu telat makan Sarah, asam lambung mu naik, maag kronis nak, kamu juga kecape'an ya?".

Aku menjawabnya dengan senyum, getir rasanya melihat mata ibu yang kuyu memndangku. Ibu keluar ketika Fani datang membawakan martabak telor satu kotak penuh, dia tahu apa yang harus dia berikan padaku. Aroma martabak yang dibawa Fani membuat perutku bergejolak,lapar sekali. Dengan sigap Fani segera menyuapiku.

"insyaallah aku akan menyelamatkan kamu dari hal - hal yang bertentangan bagimu Sarah...",serunya.

"makasih Fan, tapi smapai kapan semua ini harus terjadi?",aku kembali menangis smbil mengunyah perlahan martabak telor oleh - oleh dari Fani.

"Bagaimanapun kamu harus mulai berbicara pada ibumu.....",nasihatnya.

"aku nggak tega melukai perasaan ibu Fan...", aku sesenggukan.

"Sarah....Sarah, ibumu pasti mengerti, kita bicara pelan -pelan saja, sekarang ayo makan dulu, hanya aku yang memberikan makanan yang halal untukmu".

Aku begitu merasa terlindungi ketika Fani ada didekat ku. Benar yang dikatakannya bahwa hanya dialah yang membawakan makanan yang halal untukku.

Kondisiku tidak juga membaik, ibu setia menemaniku bergantian dengan Fani. Hari ini sudah tak terhitung berapa kali aku muntah dan berkali - kali tumbang. Aku tak mau makan makanan rumah sakit, tidak juga makanan ibu.dalam keterpaksaan aku membiarkan ibu membayar biaya perawatanku, tapi aku berjanji akan segera mengembaliknnya, tentunya di dalam hati.

dua mangkuk bubur teronggok di meja, aku tak menyentuhnya sama sekali. Ibu terpekur di dekatku, tak mengerti apa yang ada dalam pikiranku,aku hanya berharap Fani segera datang dan menolongku.Raut wajah ibu terlihat sedih,wajh keriputnya itu kuyu, aku kembali bimbang.

Fani datang tergesa - gesa sambil membawa bungkusan roti mariyam, mahasiswa tingkat akhir universitas Padjajaran itu adalah sahabatku sejak SD, cantik, baik tapi seorang janda. Dia sempat menikah dan menunda satu tahun kuliahnya hingga akhirnya bercerai pada usia perkawinan ke enam bulan, apa sebabnya, aku tak tahu pasti. Yang kutahu dia adalah orang yang paling aku butuhkan untuk menyambung hidup saat ini.

"ma'af ya tuan putri, tadi bimbingan... skripsiku masuk bab 4 sayang...",jelasnya sambil tersenyum dan membuka bungkusan.

Iya Fan, ma'af y ngerepotin kamu.....Sarah itu nggak mau makan kalau nggak ada kamu",seru ibu sedih.

"nggak pa -pa bu, memang sahabat Fani yang satu ini manja banget sama Fani", respon Fani sambil tersenyum, dia mulai menyuapiku.

Entah sampai kapan aku akan bertahan dengan perang dingin di dalam hatiku. Kekuatan yang aku miliki tinggal seujung kuku,haruskah aku menyerah?. Aku bahkan hampir kehilangan ibu dalam hari - hariku, aku terus beristighfar agar hatiku tetap bisa bertahan dengan kasih sayangku yang teramat besar terhadap ibu, orang yang melahirkanku kedunia ini dengan segenap jiwa raganya.

"makan nduk, hari ini Fani mungkin nggak kesini....",paksa ibu dengan sepiring makanan ditangannya.

Aku takut, tapi rasanya tubuh ini tak kuat lagi menahan rasa sakit. Aku berpikir berulang - ulang kali untuk memberikan jawaban yang tidak menyakitkan untuk itu, tapi kali ini seakan tidak ada kalimat lagi untuk menutupi semua yang aku pendam. Aku meraih tangan ibu dan menciumnya lembut, perlahan. Ibu hanya menatapku tak mengerti,aku menangis.

"ma'afkan Sarah ibu.....",ucapku, ibu diam.

"dengan tidak mengurangi rasa cinta Sarah terhadap ibu, Sarah ingin katakan bahwa Sarah sangat tidak mampu menghadapi perbedaan diantara ibu dan Sarah. Sarah sangat mencintai ibu, tapi Sarah punya keyakinan dan rasa patuh terhadap Allah, Sarah ingin ibu mengerti", lanjutku. Ibu memandangku sayu.

"Sarah ingin ibu dekat di hati Sarah seperti dulu tanpa harus ada penghalang diantara kita. Sarah tidak bisa mengikuti cara ibu memandang keduniaan, Sarah ingin harta yang bersih tanpa hanya dengan perkiraan dan tanggapan semata", jelasku, ku coba merangkai kata dengan hati - hati, sediit demi sedikit agar ibu tak merasa terluka.

"Sarah tidak menyalahkan pandangan ibu, tapi Sarah tidak bisa ikut pada pandangan ibu. Sarah tidak bisa merubah yang Sarah tahu bahwa itu kurang benar menjadi benar - benar saja.",aku mencoba meluruskan pandangan ibu sedikit demi sedikit.

Ibu merengkuhku dalam pelukannya, dia menangis. Aku sangat menyesal telah membuatnya seperti itu. Ibu mungkin sangat terluka dengan segala macam kalimat - kalimatku yang menyudutknnya.

"ma'afkan Ibu Sarah.....", bisik ibu.

"Sarah yang harus meminta ma'af bu. Sarah sudah melukai perasaan ibu. Sarah sayang ibu.....",sesalku,aku menangis di pundak ibu dan ku gapit erat tubuh ibu.

"ibu yang salah nak... ibu sudah menyakitimu....'.

"Ibuuuu......".

"ibu telah menyiksamu dengan kekukuhan ibu yang salah, keinginan duniawi yang ibu mudahkan tanpa memikirkan dirimu".

"Sarah tidak bermaksud melukai ibu,ibu adalah milik Sarah satu - nya di dunia ini".

Kami saling berpandangan, ibu mencium keningku. Akhirnya Allah menjawab do'a - do'aku, terimakasih ya Allah, telah kembalikan ibuku, terimakasih telah memberiku kekuatan untuk merobohkan tembok besar antara aku dan ibu, orang yang paling aku cintai setelah dirimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar